sumber: divapress-online.com |
Perpolitikan di negara kita ini agaknya cukup menyita perhatian. Bikin geleng-geleng kepala. Tanda tanya besar. Bagaimana tidak, proses perpolitikan yang digadang-gadang mempunyai visi misi yang jelas untuk membawa perubahan menuju arah yang lebih baik itu, nyatanya tak sesuai harapan bahkan terkesan mengecewakan.
Lihatlah, betapa bosannya rakyat
dijejali berita-berita yang melibatkan permasalahan politik. Misal,
korupsi, penyalahgunaan wewenang, maupun permasalah lain yang
lagi-lagi berkaitan erat dengan politik. Saling-sikut antar penguasa
kekuasaan yang tak jarang pula terjadi dalam tubuh organisasi mereka
sendiri. Saling
menjatuhkan. Tercerai berai, lalu hancur. Untuk kemudian muncul lagi
dengan identitas yang baru sebagai sebuah jawaban atas
ketergusurannya dari kandang yang lama.
Jika sudah begitu, maka tidaklah heran bila rakyat perlahan muak
dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan politik. Termasuk
sekarang, di mana petarungan politik tengah berlangsung bahkan
semakin memanas. Ya, bagaimana pun rakyat perlahan berfikir cerdas
tentang apa yang mereka rasa, lihat, dan mereka dengar akhir-akhir
ini seiring kemajuan media informasi yang tak terbendung lagi.
Tengoklah, tingkah polah wakil rakyat di parlemen beberapa hari
belakangan ini. Perilaku-perilaku semacam itu sama sekali tak
mencerminkan etika politik yang baik. Bahkan sangat buruk. Terlebih,
jutaan pasang mata di seluruh nusantara dapat menyaksikannya dengan
mudah. Ini merupakan kenyataan yang teramat memilukan di hadapan kita
semua, kini.
Yah, bagaimana mungkin politik dapat dikatakan memiliki fungsi
perubahan ke arah yang lebih baik, jika kenyataannya tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan?
Lalu, bagaimana mungkin rakyat merasa terlindungi jika mereka yang
bertekad memperjuangkan nasibnya justru memperlihatkan sikap yang
saling bertolak belakang?
Belum lagi janji-janji politik yang tak terpenuhi, bahkan sengaja
mereka ingkari. Lain lagi mereka yang tega mengkhianati amanat
rakyatnya dengan melakukan korupsi sejadi-jadinya. Serakus-rakusnya!
Bak tikus menggerogoti padi meski disimpan dalam sebuah karung yang
dibalut besi, tetapi masih dapat ditembus.
Ya, ya, ya, itu artinya bahwa
politik bukan lagi dikatakan sebagai pembawa perubahan ke arah yang
lebih baik karena telah diingkari oleh mereka-mereka yang menjadikan
politik sebagai senjata untuk mendapatkan kekuasaan serta kepuasan
dengan simbol kepalsuan belaka! Demi memenuhi libido keserakahan yang
menggebu dalam dirinya. Meski secara istilah dan fungsi mempunyai
tujuan suci, tetapi pada kenyataannya diingkari sebagian
aktor-aktornya, mereka itulah para pelaku inkaru politik.
Maka, dalam kaitannya dengan permasalahan di atas. Saya akan
mengemukakan gagasan mendasar yang penting untuk kita pahami secara
bersama. Bahwa, untuk menjawab permasalahan politik, hal terpenting
adalah dengan cara membentuk masyarakatnya itu sendiri.
Masyarakat Madani
Pertama muncul dari
penerjemahan istilah civil
society yang
digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim, pada Simposium Nasional
dalam rangka Forum Ilmiah, Festival Istiqlal, 26 September 1995, di
Jakarta.
Masyarakat Madani yaitu
sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif
individu, baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan,
mengikuti undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu
menjadikan keterdugaan atau predictabillity
serta ketulusan atau transparency
sistem.
Alhasil, jika para pelaku politik di negeri ini, baik kelas kakap,
hingga kelas teri sekalipun, #Catat (semua hal yang mengarah pada
kegiatan yang berbau politik), namun dalam praktiknya berperilaku
ngibul alias tidak sesuai etika politik, “mereka” yang demikian
adalah aktor-aktor PHP (baca: Politik Harapan Palsu)
Namun, tak serta merta saya seenaknya menjustifikasikan bahwa segala
hal yang menyangkut politik itu salah, jahat, kejam, korup, hina,
maling, bedebah, bahkan. Apalagi jika menggebu-gebu mengkritisi,
namun saya tidak mengetahui akar pokoknya. Maka, hal itu tidak dapat
dibenarkan.
Sehingga penting untuk diketahui,
bahwa, sebenarnya politik sebagaimana tuturan Ibnu Aqil (1995) ialah
hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia
dan lebih jauh dari kerusakan.
Maka, jelaslah tujuan daripada politik adalah untuk mencapai
“kemaslahatan” dan menghindari “kemadharatan”. Soal ngibul,
korup, money politic, dll, itu adalah hal lain di luar politik
itu sendiri. Otomatis, perilaku semacam itu hanya dilakukan
oknum-oknum “bedebah” yang menciderai hakikat politik yang
sebenar-benarnya.
Simpulnya, termasuk ke dalam politik manakah kita?
0 comments:
Post a Comment