Fenomena Ustadz Sosmed dan Jamaah Sosmediahnya


sumber: maxmanroe.com

Menjamurnya media sosial (medsos) di internet semakin mempermudah kita untuk saling berhubungan, berkomunikasi, dan berinteraksi satu sama lain, baik antar individu dengan individu, maupun kelompok dengan kelompok secara luas.
Sebutlah itu Facebook, Instagram, Path, hingga Twitter. Semua jenis media sosial ini mempunyai andil atau peranan yang sangat besar terhadap arus informasi dan komunikasi masa secara global, di samping sms dan telephone.
Sebagai contoh, Facebook, berfungsi untuk menjalin komunikasi secara luas, dan bahkan dapat mempertemukan kembali karib kita yang telah lama tidak berjumpa selama puluhan tahun silam, misal. Dan itu nyata, telah banyak orang yang merasakan manfaat keberadaan medsos semacam ini.
Keberadaannya, cukup berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia yang memang tak bisa dipisahkan dari segala bentuk komunikasi. Apalagi di era gadget seperti sekarang ini yang memudahkan kita untuk mencari informasi apapun secara mudah.
Hal itu dimanfaatkan betul oleh setiap orang di dunia ini untuk mendapatkan informasi atau sekadar menjalin komunikasi secara lebih luas lagi, tanpa perlu hadir bertatap muka secara nyata. Terlebih, jika berbenturan dengan jarak yang cukup jauh, misal. Maka, medsos ini cukup membantu dan lebih efisien. Nyaris seluruh penghuni dunia ini mengenalnya, bahkan lintas generasi, tua, muda, hingga remaja. Apalagi bagi mereka yang mempunyai nama besar, artis, publik figur, tokoh politik, hingga agamawan.
Mereka yang masuk dalam kategori publik figur, sangat terbantu dengan adanya medsos ini. Sebagai sarana komunikasi, atau sekadar menjalin kedekatan dengan kolega, teman dekat, maupun dengan pendukung serta penggemar-penggemarnya di mana pun mereka berada. Begitu pula dengan tokoh-tokoh agama, sebutlah itu seorang ustadz.
Munculnya ustadz-ustadz sosmed
Di Twitter, keberadaan ustadz ini begitu mudah kita jumpai. Tinggal mengetikkan namanya di laman pencarian, seketika itu juga munculah nama yang kita cari itu. Tentu dengan jumlah follower yang begitu membludak jumlahnya, ribuan, bahkan jutaan pengikutnya. Sebutlah itu jemaah online, misal. Maka, di sisi lain, sebutan untuk sang ustadz pun ikutan berubah pula menjadi “ustadz sosmed” misal.
Ya, saya menyebutnya ustadz sosmed. Hal itu didasari pula dengan realitas yang tampak akhir-akhir ini. Ustadz yang biasanya ceramah di mesjid-mesjid, kini, di sisi lain, ustadz pun sering memanfaatkan medsos untuk melakukan syiarnya, ceramahnya ke seluruh jemaahnya di mana pun berada.
Munculnya fenomena “ustadz sosmed” akhir-akhir ini, cukup memberikan andil besar terhadap pemahaman keagamaan umatnya, jemaahnya, tanpa batasan apapun secara mudah dan efisien. Hal itu tentu saja sangat positif terhadap pemahaman keagamaan kita sebagai umatnya di era yang serba canggih ini. Tak ada yang salah dengan semua ini dan semestinya itu yang patut disadari oleh sang ustadz untuk memanfaatkan keberadaan medsos tersebut.
Di sisi lain, kita juga mesti mengerti benar, bahwa tak semestinya pula kita memaksakan pemahaman seseorang, kelompok lain, untuk sama seperti pemahaman yang kita dapat dari ceramah ustadz-ustadz yang dijunjung dan kita hormati itu. Apalagi, jika sikap kita terhadap umat lain sampai terlampau ekstrim, misal. Bahasa vulgarnya mungkin seperti ini, kita dengan entengnya mengecap seseorang atau kelompok sebutlah itu sesat dan bahkan kafir. Sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan dengan begitu entengnya, misal.
Hal itu kita lakukan dengan dalih bahwa apa yang didapat dari sang “ustadz sosmed” kita adalah pemahaman yang paling benar, baik, dan bahkan sempurna dibanding pemahaman lain di luar itu. Sehingga, begitu dihadapkan pada realits lain yang ternyata berbeda paham dengan kita, lantas kian getollah kita menjudge sesat dan kafir, mengkafirkan mereka tanpa ampun. Tanpa sanggup kita rem sekalipun.
Celakanya, itulah hal yang menimpa umat kita dewasa ini. Di era kemajuan zaman yang serba canggih dan mudah ini yang tak bisa diabaikan begitu saja. Imbasnya, kita hanya menjadi “jamaah Sosmedi'ahnya” belaka yang mudah menyimpulkan segala sesuatu berdasar atas penampakan luarnya saja, cangkang, dan bahkan apa yang telah kita terima dari “ustadz sosmed” kita. Tanpa mengindahkan lagi harmoni apapun hanya karena sebuah perbedaan.Puncaknya, kita hanya akan menjadi umat yang mudah terpecah belah akibat perselisihan paham yang tak dapat dinetralisir dan disikapi dengan bijak itu.
Sungguh, tidaklah salah apa yang dilakukan “ustadz sosmed” itu, selama apa yang mereka lakukan adalah kebaikan, kewajiban, dan bahkan tuntutan agama. Namun, tidaklah benar pula apa yang mereka lakukan jika dalam kenyataannya memberikan “doktrin” kepada umatnya yang justeru melahirkan suatu kebencian terhadap kelompok lain. Apalagi jika sampai pada level “sesat menyesatkan dan kafir-mengkafirkan” dengan begitu entengnya itu.
Bukankah bersikap bijak itu lebih elok dibanding bersikap sinis yang justru hanya akan jadi perusak harmoni kehidupan ini? Sebagai pamungkas, saya menukil perkataan Imam Syafi'i, bahwa, kebenaran dalam pandanganku mengandung satu kesalahan dalam pandangan orang lain. Dan, kebenaran dalam pandangan orang lain mengandung satu kesalahan dalam pandanganku.
Terakhir, apa yang kita yakini benar menurut pemahaman kita, hati nurani kita, “ustadz sosmed” kita, ya silakkan amini. Tapi, yang lebih penting lagi, bersikaplah bijak terhadap segala apapun di kehidupan kita, sekalipun “ustadz sosmed” kita berkata begini, dan begitu. Ingatlah, sejatinya kita dihadapkan pada kehidupan yang nyata dibanding “ustadz-ustadz sosmed” yang maya itu.


Ciamis, April 2015
SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment