Tak bisa dipungkiri bila kemajuan teknologi dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Tajam. Lesat. Tak terbendung lagi. Sebagaimana
arus perpuataran zaman itu sendiri.
Globalisasi
Ya, mungkin inilah sebutan yang pas untuk mewakili zaman kemajuan
sekarang ini yang mana merupakan sebuah keadaan di mana perbedaan
jarak dan posisi geografis suatu wilayah bukan lagi halangan untuk
mendapatkan suatu informasi atau sekadar menjalin komunikasi. Baik
dalam batas wilayah maupun yang di luar batas dan bahkan berbeda
negara atau benua sekali pun. Ya, seperti sekarang! Arus perputaran
informasi dan komunikasi bukanlah sesuatu yang rumit. Tetapi adalah
hal yang paling mudah dilakukan di era globalisasi sekarang ini. Arus
perputaran informasi dan komunikasi ini begitu terbuka. Mudah diakses
di mana saja. Cepat. Biaya ringan. Sekali klik, langsung jadi.
Praktis.
Namun, tak bisa dipungkiri kemajuan penyedia informasi dan
komunikasi ini akan membawa dampak terhadap penggunanya. Baik dampak
positif maupun negatif.
Misalnya, tersajinya informasi yang simpang siur tentang suatu
permasalahan. Atau mungkin sengaja dibuat sebagai rekayasa sosial
untuk menaikan popularitas. Apalagi jika dikaitkan dengan
perpolitikan sekarang ini, misalnya, keberadaan penyedia informasi
dan komunikasi ini dijadikan senjata untuk mendompleng popularitas
demi meraih dukungan sebanyak mungkin. Saling serang antar lawan
politik adalah sesuatu yang wajar. Bahkan, perpolitikan sekarang ini
banyak melibatkan media karena memang orang-orang yang berkiprah
dalam perpolitikan ini tak sedikit adalah para pemilik media itu
sendiri yang berskala besar.
Tengoklah, saling serang antar lawan perpolitikan lewat media yang
mereka miliki sampai saat ini terus berlangsung, dan bahkan semakin
memanas. Saling lontar serangan. Sindiran. Bahkan ejekan. Namun itu
adalah kewajaran. Karena persaingan adalah persaingan. Di mana akan
terus berlangsung dalam kompetisi apapun termasuk persaingan politik
itu sendiri.
Ada satu hal unik yang luput dari perhatian sekarang ini. Jika
kebanyakan media asik memberitakan isu-isu politik. Maka, di sisi
lain ada hal unik pula yang patut untuk dibicarakan. Meski, boleh
jadi tidak ada hubungannya dengan politik. Bahkan tidak sama sekali.
Namun secara nilai bisa dikatakan pula sebagai sebuah politik.
Nyontek
Ya, nyontek. Adalah sesuatu yang mungkin sudah tidak asing lagi di
benak kita. Baik itu orang tua, dewasa, maupun remaja. Karena bisa
jadi itu adalah pengalaman kita dahulu kala. Saat dihadapkan pada
permasalahan yang dianggap membutuhkan jawaban sepertihalnya sebuah
ujian. Maka, nyontek adalah solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan
itu. Dan bisa dikatakan 'nyontek' adalah politik untuk memperoleh
tujuan, misalnya, untuk mendapatkan nilai yang baik terhadap mata
pelajaran yang diujikan.
Dulu, jauh sebelum era kemajuan teknologi seperti sekarang ini,
misalnya, ketika akan dilaksanakan ujian sekolah saja, malam harinya
sebelum ujian itu dilangsungkan selalu saja disibukan dengan
menghapal, membaca, dan bahkan sempat-sempatnya membuat bahan yang
dijadikan agar mempermudah menjawab pertanyaan dengan cara 'nyontek'.
Ditulis dalam sebuah kertas kecil agar mudah dibawa dan disimpan di
mana saja. Seperti disimpan dalam saku celana, baju, maupun kaos
kaki. Tak jarang pula menuliskannya dalam kulit di pangkal paha
karena posisinya aman tertutup celana, misal.
Cara-cara ini adalah penggambaran tingkah laku sebagian kalangan
pelajar maupun mahasiswa ketika dihadapkan dengan permasalahan ujian.
Meski tidak semuanya seperti itu. Inilah potret di mana posisi
nyontek dikalangan pelajar mempunyai hubungan pula dengan politik di
negeri ini. Baik positif maupun negatif.
Nyontek era digital
Di era gadget ini, tak satu
pun manusia yang luput dari virusnya. Tua, dewasa, remaja, bahkan
bocah sekalipun sudah biasa menggunakan gadget. Baik itu untuk
kebutuhan informasi, sms, telepon, hingga medsos, berselfie-selfie
ria, bahkan.
Kenyataan ini adalah hal lumrah belaka. Alamiah saja. Kita tak perlu
lagi pusing-pusing memikirkan fenomena semacam ini. Ya, sah-sah saja.
Siapapun berhak menggunakannya. Termasuk para pelajar yang notabene
adalah kaula muda yang suka berselfie ria, bermedsos ria. Karena ini
adalah zamannya, massanya. Di mana gadget adalah kebutuhan.
Namun ada hal unik di era gadget ini, termasuk hubungannya dengan
“contek mencontek” itu. Kalau dulu, sebelum segalanya serba
canggih, dalam hal “contek mencontek” mesti berjuang dengan
begitu gigihnya, mencatat, menyembunyikannya di kaos kaki, di kolong
meja, hingga melipat buku paket, misal. Sekarang, sudah tak relevan
lagi. Sangat jadul. Kudet.
Sebab, di era gadget ini, para pelajar yang notabene adalah insan
terpelajar yang lebih pintar dengan gadget itu, sangatlah terbantu
dengan kehadirannya. Mau cari informasi apa pun tinggal buka di paman
Google. Termasuk nyontek itu sendiri.
Maka, tidaklah mengherankan lagi jika suatu hari kita menyaksikan
adik-adik kita, atau mungkin anak-anak kita (saya belum nikah dan
belum punya anak sih), ketika dihadapkan dengan ujian, sebutlah itu
ujian sekolah, lalu sikapnya tenang-tenang saja, maka boleh jadi
mereka telah menggantungkan jawabannya pada paman google. Bukan buku
pelajaran.
Hingga pada akhirnya, tak ada alasan lagi bagi generasi kita untuk
rajin membaca, membaca, dan menghapal, termasuk ketika berhadapan
dengan ujian sekalipun. Karena nyatanya paman google telah memberikan
segalanya.
Inilah yang menimpa generasi kita dewasa ini, di era kemajuan zaman
yang begitu lesat ini dengan teknologi canggihnya yang sangat
berpengaruh pula terhadap pola prilaku manusianya lewat informasi
yang tersedia di dalamnya.
Di satu sisi, gadget adalah kebutuhan, bahkan mencerdaskan. Di sisi
lain, gadget pula adalah kesia-siaan, terlebih bagi mereka yang
menggunakannya hanya untuk cuma-cuma belaka, imbasnya membodohkan.
Karena segala apa yang dipinta, pastilah gadget berikan. Puncaknya,
kita hanya menjadi manusia instan belaka.
Terlepas dari era kemajuan ini, sama sekali tidaklah salah. Karena
yang namanya kehidupan akan terus seperti itu. Dinamis. Bukan stag
berdiam diri. Sebab, hidup selalu memberikan pilihan.
Mau seperti apa pun kehidupan kita, semuanya diserahkan lagi pada
diri kita sendiri. Bukan orang lain. Gagdetku, gadgetmu, dan
gadgetnya, tidaklah salah. Sebab, salah dan benar, tergantung diri
kita sendiri yang menggunakannya.
*Ciamis. Maret 2013.
0 comments:
Post a Comment