Demokrasi atau Plutokrasi?



Mereka menyebutnya demokrasi. Tetapi, yang sebenarnya berjalan adalah plutokrasi. Pemerintah yang mengabdi pada mereka yang berpunya, daulat uang. Hukum tertinggi adalah koneksi. Keputusan untuk rakyat banyak ditentukan oleh konsensus orang-orang tidak beradab. Negara adalah manifestasi keserakahan. Nasionalisme adalah katebelece konsesi, untuk tambang, hutan, dan laut. Negara dibentuk bukan untuk tujuan nasional, melainkan memastikan tercapainya tujuan jangka pendek segelintir manusia yang terhubung satu sama lain. Sebab, hukum tertinggi adalah koneksi.

Apa yang dituturkan E.S Ito (2007) dalam novelnya Rahasia Mede, di atas, memiliki makna yang begitu dalam. Sangat-sangat dalam. Terlebih kaitannya dengan kondisi negara ini. Dari kutipannya itu, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan yang hampir sama dengan situasi dan kondisi bangsa ini. Atau bahkan sama persis, benar-benar nyata. Fakta.

Ya, bagaimana tidak, belum lama ini masyarakat Indonesia disuguhi perdebatan yang sangat panjang di parlemen antara pengusung pilkada lewat DPR yang dikomandoi partai Gerindra dengan koalisi merah putihnya, berhadapan dengan koalisi Indonesia Hebat yang dipimpin partai PDIP yang mengusung Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden sebagai penentang keras RUU Pilkada itu.

Kedua kubu ini sama-sama ngotot mempertahankan pendapatnya. Koalisi merah putih beranggapan, bahwa, pemilihan langsung kepala daerah yang telah berlangsung sejak tahun 2005 ini lebih banyak madharatnya dibandingkan maslahatnya, ditambah hambur biaya, dan bahkan dapat memicu konflik di kalangan masyarakat. Berbanding terbalik dengan koalisi merah putih, koalisi Indonesia Hebat menentang keras RUU Pilkada ini, pasalnya menurut mereka jika RUU ini disahkan, maka proses demokrasi di Indonesia telah dirampas oleh segelintir orang saja. Bukan lagi dinikmati oleh masyarakat.

Lihatlah, dalam rapat paripurna DPR belum lama ini, rakyat disuguhkan dengan pola perilaku wakil-wakilnya di parlemen yang sungguh tidak mencerminkan dirinya sebagai penyambung lidah rakyatnya. Para wakil rakyat ini justru mempertontonkan pertarungan politik yang tidak sehat. Keduanya sama-sama ngotot, bahkan tidaklah jarang rapat yang tadinya berjalan a lot lambat laun menjadi perang otot. Meski tak sampai adu jotos, namun sebagian di antara mereka bahkan ada yang berani naik ke podium dan memaki-maki pimpinan rapat.

Pada akhirnya, rapat paripurna itu mengesahkan undang-undang pilkada yang diusung koalisi merah putih tersebut, sekaligus mengembalikan model pemilihan kepala daerah yang dipilih lagi oleh DPRD.

Hal itu berarti bahwa proses demokrasi di Indonesia yang telah lama berjalan ini, akan mengalami kemunduran yang begitu nyata. Terlebih, masyarakat tidak dapat lagi terlibat dalam sistem demokrasi sebagaimana biasanya, sebutlah itu pemilihan umum kepala daerah. Karena sudah terwakili oleh orang-orang yang duduk di parlemen kekuasaan sebagai wakil rakyat. Sebagaimana yang dikhawatirkan koalisi Indonesia hebat itu.

Padahal, sebagaiman kita tahu, bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Di mana kekuasaan tertinggi sepenuhnya ada di tangan rakyat, sebagaimana kita mafhum ungkapan Abrahan Lincoln (1983), demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah yang menjadi pijakan dasar demokrasi semua kita, kini, mayoritas Bangsa Indonesia, termasuk para wakil rakyat diparlemen.

Demokrasi hanyalah sistem atau alat untuk mencapai tujuan jangka panjang suatu bangsa. Tujuan jangka panjang yang dimaksud adalah tercapainya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat di dalamnya. Poinnya cukup di situ “kesejahteraan umum”, bukan malah sebaliknya menjadikan demokrasi sebagai tujuan belaka. Imbasnya, kesejahteraan umum yang selama ini selalu dikoarkan itu hanyalah sebuah janji politis belaka.

Maka, tidaklah mengherankan bila rakyat perlahan muak dengan janji-janji petinggi negeri ini. Semuanya sibuk memperebutkan kekuasaan. Gontok-gontokkan membuat barisan, membentuk kekuatan. Berebut kekuasaan. Namun, mereka alfa dengan tugas dan kewajiban yang diemban serta diamanahkan rakyatnya yang berupa kesejateraan.

prinsip demokrasi adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal itu dibuktikan dengan adanya pemilihan yang ditentukan sendiri oleh rakyat lewat sebuah pemilihan; pemilu. Baik itu pemilihan kepala daerah, legislatif, dan bahkan pemilihan presiden.

Apa yang disebut demokrasi ini memiliki tujuan jangka panjang bagi keberlangsungan kehidupan masyarakatnya di masa mendatang. Dengan kata lain, maju. Maju dalam segala bidang. Maka lahirlah apa yang disebut dengan tujuan nasional. Salah satu tujuan nasional itu adalah tercapainya kesejahteraan umum. Termasuk di Indonesia.

Salah satu alat yang diterapkan di Indonesia untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menerapkan sistem demokrasi. Sehingga, segala macam kegiatan, termasuk di dalamnya kegiatan kepemerintahan, tidaklah terlepas dari prinsip demokrasi itu sendiri.

Sejak awal terbentuknya bangsa ini, bahkan dalam masa peperangan sekalipun, pejuang bangsa ini menginginkan ketercapaian tujuan nasional ini. Akan tetapi, yang terjadi hingga saat ini, cita-cita ini belumlah sepenuhnya tercapai. Padahal, bangsa ini telah merdeka di usia yang hampir mencapai tujuh puluh tahun. Justru, kemerdekaan bangsa ini adalah awal dari keterjajahannya bangsa ini.

Hilangnya demokrasi di tangan rakyat

Belum lama ini, bangsa Indonesia diramaikan dengan rapat paripurna anggota legislatif: DPR, yang membahas RUU Pilkada. Tujuannya, satu, agar pemilihan kepala daerah (Gubernur/ Bupati/Wali kota) dipilih dan ditentukan kembali oleh DPR. Hasilnya, UU tersebut resmi disahkan. Puncaknya, pemilihan kepala daerah ditentukan dan dipilih oleh DPR.

Keputusan ini banyak menimbulkan reaksi yang cukup sengit. Baik di kalangan elit, politisi, dan bahkan masyarakat itu sendiri. Bagi sebagian kalangan, khususnya partai pengusung Jokowi-JK yang dikomandoi PDI-P, dengan terang-terangan menentang UU Pilkada ini. Mereka menganggap, bahwa langkah partai pengusung Prabowo-Hata yang tergabung dalam koalisi Merah Putih ini telah merampas hak-hak rakyat.

Ya, bagaimana tidak, pemilihan kepala daerah secara langusng sejatinya telah dilakukan sejak tahun 2005 silam. Sehingga, rakyat dapat memilih pemimpinnya secara langsung dan terbuka. Bukan ditentukan oleh segelintir orang di parlemen. Hal itu menandakan, bahwa demokrasi di Indonesia telah sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Abrahan Lincoln (1983) bahwa demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Otomatis, seluruh kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat.

Namun, secara terang benderang, koalisi merah putih juga menegaskan bahwa pemilihan secara langsung banyak madharatnya dibanding maslahatnya, terlebih dapat memicu konflik di tengah masyarakat.

Ibarat nasi yang telah menjadi bubur, pada akhirnya UU Pilkada ini resmi diketok palu. Sah secara konstitusional. Meski UU tersebut dapat digugat lagi ke Mahkamah Konstitusi, bagi pihak yang merasa kalah, dan tak ketinggalan bagi masyarakat Indonesia yang menginginkan kembali pemilihan secara langsung. Mengidupkan kembali demokrasi. Bukan hanya dipilih dan ditentukan oleh segelintir orang di parlemen, sehingga rakyat hanya tinggal mengangguk tanda setuju, karena tak punya kuasa dan wewenang apapun.

Jika sudah begitu, maka, ini menandakan bahwa demokrasi yang berjalan di negeri ini tidak bisa dikatakan lagi sebagai sebuah sistem demokrasi, melainkan plutokrasi, karena hanya dinikmati segelintir orang saja. 
SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment