Ketika Politik Jual Beli Agama

Sempat terjadi perdebatan yang teramat panjang pada dekade 1930-an tentang hubungan politik dan agama, antara elite santri nasionalis dan elite nasional non-santri. Gemuruh perdebatan itu dapat dirasakan hingga tahun 1950-an. Perdebatan panjang itu terfokus pada satu hal: Apakah poltik itu bersih atau tidak?
Begitulah.
Non-santri keukeuh, bahwa politik itu tidak bersih, selamanya, sehingga agama yang suci sekali pun jangan dibawa-bawa masuk ke dalamnya. Sedangkan, elite santri nasionalis beranggapan, bahwa memang politik itu tidak bersih, maka cara membersihkannya, ya dengan agama.
Anggapan bahwa politik itu tidak bersih, memang benar adanya. Dua kelompok ini, baik elite santri nasionalis maupun elite nasional non santri, punya persamaan pandangan. Namun, yang membedakannya, salah satu cara untuk membersihkan politik yang tidak bersih itu, maka harus melibatkan agama di satu sisi. Di sisi lain, non santri menjawab, justeru agama akan menjadi kotor jika dipadu-padankan dengan politik.
Politik dan Agama
Demikianlah perdebatan panjang yang kerap dilakukan elite bangsa ini tempo dulu, semuanya punya pandangan masing-masing, teguh dalam pendiriannya sendiri-sendiri. Jika substansi perdebatan panjang kita lihat dengan kaca mata kekinian, realitas nyata hari ini, sangat menarik kita saksikan di depan mata.
Kalau dulu tokoh santri sangat berhati-hati dan menjaga martabat dirinya agar tak terpengaruh oleh politik yang katakanlah “tidak bersih” itu, justeru sebagian santri generasi sekarang dengan bangganya berkubang dalam lumpur politik yang “tidak bersih” itu tadi.
Kondisi ini, jelas amat sangat memprihatinkan, terlebih bagi mereka yang masih menyimpan nilai-nilai spiritual, sebutlah itu agama, dan Pancasila. Nilai-nilai seperti itu, kini seolah hilang, bahkan ekstrimnya sengaja dibuang, demi satu hal: uang dan kekuasaan. Yang tak pernah berujung pada kepuasan. Sama sekali! Imbasnya, menjadi mahluk yang paling rakus, dengan dalih memperjuangkan agama dan nilai-nilai Pancasila. Padahal kenyataannya, hanya jadi alat tuggangnya belaka.
Di era pragmatisme politik seperti sekarang, rasanya sangat sulit menemukan mereka-mereka yang terlibat di dalamnya, bersih tanpa kepentingan lain. Ya, sekalipun niatan awalnya terjun ke dalam politik demi membela rakyatnya, memperhatikan kesejahateraannya, termasuk memperjuangkan agamanya, bahkan, kini hanyalah sebuah pepesan kosong belaka. Omong kosong semata! Tujuan mulia politik hanyalah akal-akalan, jalan mulus untuk berburu harta dan kekuasaan, tidak yang lain! Akibatnya, simbol-simbol agama yang mereka dagangkan, yang mereka tawarkan, kini tak mempan lagi, rasanya pun kian hambar dan kecut, bahkan.
Ulah “kutu-kupret” inilah demokrasi tersandera, sehingga tujuan mulia kemerdekaan sebagaimana janji para pendiri bangsa kala itu, yang memperjuangkan kesejahteraan bangsanya, perlahan kabur dan semakin menjauh saja. Politisi “kutu kupret”  nuraninya tak peka lagi, atau telah mati beneran, bahkan, akibat sumpalan “uang dan kekuasaan” yang melingkarinya. Yang ada di otaknya hanyalah, APBN, APBD, BUMN, BUMN, yang terus menerus menggodanya lagi dan lagi. Sialnya, nyaris tak ada seorang pun yang tak tergiur rayuannya itu, kendati tak selalu politikus berperilaku demikian.
Hmmm, inilah negeri beragama yang kelakuannya justeru tak beragama. Ironisnya, kawan sejawat sesama politisi, atau bahkan sama-sama satu partai, lalu berkelekar dengan nada guyon : “Politisi Bukan Malaikat” dan “Bukan pula syetan”. Ya, gerangan apa yang sebenarnya mereka ucapkan itu? Rasanya amat sangat memualkan, dan enek didengar, benar-benar sebuah ucapan yang teramat naif, defensif, bahkan reaktif, yang diucapkan nyaris tanpa beban moral yang semestinya nampak pada diri seorang santri, yang notabene meleka agama.
Jika realitas ini benar adanya, maka perdebatan panjang di atas masih cukup relevan untuk diungkit kembali. Atau bahasa eneknya, saya hanya ingin mengatakan, “Buanglah jauh-jauh simbol agama” itu, kalau memang ingin berpolitik, ya silakkan saja berpolitik, tetapi jangan bawa-bawa agama ke dalamnya, agar tidak kotor!
Kembali ke-Partai Moralis
Sejarah politik Indonesia mencatat, ada dua partai moralis yang kita kenal, yakni Masyumi dan Partai Katolik. Sekalipun berbeda agama, tokoh-tokoh kedua partai ini sangat ketat dalam mengawal moralitas anggotanya yang bergerak dalam politik. Mereka menjadikan agama sebagai ajaran moral yanng wajib dijadikan sebagai pedoman dalam mengawal perilaku politik anggotanya. Sebab, tanpa dibekali moral, politik niscaya merusak.
Kerusakan-kerusakan seperti inilah yang kini tengah menggerogoti kehidupan bangsa ini, destroyer-nya tidaklah lain adalah politisi yang “cacat moral”-nya, yang wajahnya selalu tenang dan senyumnya menawan acapakali tampil di tivi-tivi, sekadar untuk  klarifikasi atau berbasa-basi. Betapa amat memualkannya bukan tontonan seperti ini?
Partai politik, apa pun itu namanya, apalagi yang melabeli dirinya dengan kata “suci dan bumbu agama”, jika suatu saat kesandung musibah moral, reaksi publik terhadapnya pastilah akan sangat-sangat keras, dan tidak menutup kemungkinan memicu reaksi yang lebih brutal lagi, yang niscaya partai itu akan sangat kehilangan kepercayaannya, bahkan runtuh wibawanya. Celakanya, yang jadi korban tidak lain adalah konstituen partai ini yang mulanya punya kebanggaan dan kepercayaan tinggi terhadap figur pemimpin, yang senyata-nyatanya tidak jauh berbeda dengan politisi korup lainnya!
Sialanya, itulah yang terjadi dalam perpolitikan kita saat ini. Kita tentu ingat, betapa amat sangat memualkannya rakyat Indonesia kala itu, ketika kasus korupsi “sapi” yang menimpa salah satu kader partai yang—ehmm, berpayung “agama”, yang berujung dengan terkuaknya kader-kader lainnya yang terlibat di dalamnya.
Lebih dari itu, bahkan, kasus korupsi yang menyeret partai “suci” itu terasa amat sangat mencengangkan, bukan karena jubelan uangnya saja yang dikorup, melainkan dengan bertebarannya “koleksi” wanita cantik, nan seksi, yang tentu saja membuat marah, sekaligus gemes menyaksikannya keberadaannya.
Tentu, ini adalah ironi yang teramat memilukan, bukan?
Baiklah, saya takkan berlama-lama membahas kasus ini berkepanjangan. Saya tak punya kuasa apa pun tentang semua itu. Apalagi dengan “kutu-kupret” yang telah saya sebutkan itu, saya mah hanya tulang belulang yang terbungkus kulit doang. Saya hanya ingin mengutip Al-Qur'an surat Al-Hasyr ayat 2, yang maknanya berbunyi: “Maka ambillah pelajaran moral, wahai orang-orang yang punya penglihatan tajam,” Mari saatnya kita renungkan kembali, berpikir dalam-dalam, di tengah situasi yang serba abu-abu ini, bak seorang jomblo yang nunggu kekasihnya yang maya itu datang menjemputnya.
Terakhir, semoga apa yang dituturkan Ibnu Aqil (1995) bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan. Bukan selogan belaka, dan nyata adanya. Ya, mari kita berdo'a saja.

*catatan ini pernah tayang di Harian umum Kabar Priangan


SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment