Bukan Anak Jalanan
Sebagai anak jalanan
yang tak suka kebut-kebutan di jalan musabab tak punya motor untuk
melakukannya, juga tak punya nyali karena takut terjaring razia
polisi, aku hendak memuntahkan kekecewaanku pada pemerintah ihwal
sinetron yang mengatasnamakan jalanan yang menyinggung khittah dan
marwah anak jalanan yang sebenarnya.
Bagaimana tidak, orang-orang jalanan dalam sinetron itu
digambarkan dengan sebegitu kerennya. Motor-motor mewah nan mahal dan
mengkilat, pakaian modis dan gaul, muka-muka kinclong cantik serta
tampan yang diperankan tokohnya, rumah elite dan mobil mewah, dan
tentu saja, ditopang dengan kisah percintaan ala ABG yang
kenyes-kenyes yang seketika
akan membuat baper para ABG yang kebetulan gemar menyaksikannya dan
lalu membayangkan jika seandainya kedua tokoh utamanya yang bernama B
dan R itu adalah dirinya dan kekasihnya, maka lengkap sudah
kebahagiaannya.
Tentu saja ini keliru. Sangat-sangat keliru. Bagi kami,
khusunya aku yang telah diberi mandat untuk menyampaikan keluh kesah
ini, sangat prihatin dengan persinetronan di negeri ini, terlebih
yang menyangkut kehidupan jalanan.
Mari kita lihat, apakah ada anak jalanan yang hidupnya
mewah, pakaiannya modis, rapi, dan gaul, pula tampan. Tidak ada. Blas
tidak ada. Kendati, tentu saja mungkin dibagian lain ada yang memang
demikian. Hanya saja itu yang kurasakan. Dan itu semua ada padaku
juga teman-temanku.
Hidup kami di jalanan cukup sulit untuk dijabarkan.
Betapa kami hidup dengan cukup prihatin, bahkan watir.
Sehari-hari hanya tinggal di pinggiran jalan. Di kolong
jembatan. Makan di jalan. Segalanya di jalan. Karena bagi kami,
jalanan adalah tempat tinggal kami. Bukan rumah apalagi apartement.
Bukan pula motor-motoran, kebut-kebutan di jalan sambil pergi ke
sekolah, lalu pulang mampir ke mall atau cafe-cafe, pacaran, dan
setelahnya kebut-kebutan lagi diakhiri ribut dengan geng-geng lain
yang dirasa baru dan dicap hitam, kemudian pulang ke rumah—dan
diakhiri dengan ibadah. Persis seperti yang digambarkan di sinetron
itu.
Sepanjang yang kutahu, sejak mengikuti perkembangan
sinetron itu, kendati bisa saja banyak yang terlewat karena tidak
sempat menyaksikannya, sebab tidak melulu aku berada di depan TV yang
hanya ada di sebuah warteg kecil dan sederhana terlebih ketika ada
razia satpol PP yang menyebabkanku juga pemilik wareg lari
kocar-kacir dibuatnya, rasanya tokoh B dan atau lainnya, amat jarang
melakukan kegiatan belajar sebagaimana diceritakan dalam sinetron
tersebut yang memang diceritakan sebagai insan terpelajar itu.
Yang jelas, adegan perkelahian, motor-motoran, dan
percintaannya lebih kental dibanding kegiatan belajarnya. Dan itu
bagus. Mencerminkan anak jalanan. Sialnya, banyak elemen yang justru
bertentangan dengan kehidupan jalanan itu tadi. Misalnya, hidup
mewah, kendaraan oke, dan sebagainya. Itulah setidaknya yang membuat
kami, anak jalanan yang sebenarnya merasa tersinggung.
Aku sempat heran dan bertanya-tanya dalam hati, lho kok
bisa tokoh si B sedemikan cerdasnya? Apa jangan-jangan iya punya ilmu
laduni?
Aku tertunduk sambil menggelengkan kepala. Sesekali
kuteguk air minum dalam gelas plastik yang kudapat dari hasil
mengamen tadi siang yang menyebabkan kulit semakin hitam ini.
Terlebih tadi siang ada razia satpol PP, sehingga membuatku
kocar-kacir tidak karuan karena takut tertangkap. Kendati kepalaku
agak sedikit lebam terkena pentungan satpol PP.
Baru setengahnya kuminum, temanku yang berada di samping
menatapku sambil mengulurkan tangannya, “Jangan dihabisin. Gue
haus!” katanya, sambil merebut gelas plastik itu dari tanganku.
Aku biarkan dia merebut gelas plastik itu, “oke,”
balasku sambil berdiri dan segera bergegas dari tempat itu,
takut-takut ada razia lagi, “ayo cabut!” kataku lagi.
Tepat pukul 19.00, seperti biasa, aku mampir ke salah
satu warteg yang cukup murah dan sederhana itu dengan kondisi badan
yang sangat melelahkan dan perut keroncongan lengkap dengan bau badan
yang cukup menyengat karena pakaianku nyaris seminggu ini belum
kuganti karena keterbatasanku sebagai anak jalanan.
Hanya saja, begitu tiba di warteg itu semua lelah yang
kurasa, dan setumpuk kekecewaanku dapat terobati. Perut laparku, bau
badanku, dan sakit di badanku seakan hilang begitu saja. Atau
tepatnya tidak peduli. Terlebih ketika pemilik warteg itu
menghidupkan saluran TV yang dimiliki salah satu pengusaha sekaligus
pemilik partai P yang nyaris dalam seharian penuh marsnya
berkumandang dan membuat para penikmatnya sangat hafal betul dengan
liriknya melebihi tingkat kehafalannya pada lirik lagu-lagu wajib
nasional, seketika wajah muram kami menjadi cerah, dan tangis kami
menjadi bahakan luar biasa. Semua beban seakan hilang.
Artinya sinetron jalanan akan kami saksikan, dan tokoh B
serta R akan membuat suasana hati kami seakan romantis kendati
sebenarnya miris. Takut-takut akan ada satpol PP lagi, merazia warteg
ini, dan mengganggu tontonan kami, sinetron jalanan yang cukup
membahagiakan itu.
“Ini B yang juara olimpiade itu, bukan?”
“Ya,” sahut R yang kebetulan ada di samping B kala
itu, tepat ketika hendak daftar di salah satu tempat les privat.
“Wah, luar biasa! Kalau begitu kalian berdua jadi
model iklan di sini, ya? Mau ya?”
Begitu salah satu adegan yang tengah kami saksikan
antara tokoh B dan R yang cukup membuat kami sedikit bahagia dan
sedikit melupakan beban kami.
Dan sialnya, begitu tokoh B dan R itu tinggal berdua
dengan beradegan romantis, tiba-tiba pemilik warteg memijit tombol
power pada remotenya. TV menjadi gelap. Lalu dia masukan ke dalam
kotak. Kabel-kabel digulung. Dagangan dimasukan ke dalam kantong.
Semuanya dimasukan ke dalam mobil bak bututnya. Dia pun masuk dan
menyalakan mobil itu. Seketika lesatlah dia. Hanya menyisakan kepulan
asap knalpotnya yang cukup pekat, “Awas ada razia!” pekiknya dari
kejauhan.
Kami semua tersedak mendengarnya. Saling tatap satu sama
lain. Wajah kami menjadi muram lagi. Sangat muram bahkan. Keringat
bercucuran. Kebahagiaan yang baru sebentar saja akan kami rasakan
itu, sirna begitu saja. Dan dalam persekian detik, lengkingan sirine
terdengar begitu mengagetkan.
Puluhan, hingga ratusan satpol PP berlarian sambil
mengacungkan pentungannya. Beberapa PKL yang sebagian di antaranya
tak lagi muda tertangkap dan diamankan oleh mereka, dagangannya
hancur, dan beberapa pengamen serta anak jalanan berhasil ditangkap
serta digiring dengan begitu kasarnya, sesekali pentungan yang mereka
bawa menghajar kepalanya.
Dalam situasi begini, aku sempat berandai-andai, jika
saja aku adalah tokoh B dalam sinetron itu, mungkin aku takkan
berlari-lari semacam ini, kucing-kucingan dengan satpol PP, dan
merasa takut dengan keberadaannya, karena selain punya motor yang
cukup mewah itu, tokoh B pula punya segalanya, cerdas, tampan, dan
religius juga santun, sehingga mana ada satpol PP yang berani untuk
menangkapnya. Yang ada satpol PP akan sungkan dibuatnya. Dan sialnya,
itu cuma sinetron.
Sedangkan aku, tentu saja akan ditangkap, dipukul
sebagaiamana pengamen-pengamen itu, atau dihancurkan daganganya
seperti para PKL yang kebanyakan di antaranya para pemiliknya telah
berusia tua lagi renta itu ihwal statusku sebagai anak jalanan, dan
seperti biasa, sinetron jalanan itu akan tetap tayang sebagaimana
mestinya, kendati kami yang hidup di jalanan sebagai anak jalanan
yang sebenarnya tengah meringkuk di tahanan.
Ciamis, 15 Juni 2016.
*NB: Catatan ini terinspirasi dari sinetron yang dirasa cukup mengganggu atas kehadirannya. Yang membuat sebagian orang, khususnya kalangan muda-mudi, mengikuti gaya hidup, bicara, dan segala macam geriknya setelah menonton sinetron itu. Sialnya, yang ditiru adalah hal-hal negatifnya. Dan memang, rasa-rasanya kok, sinetron itu lebih banyak efek negatifnya dibanding positifnya? ceuk urang eta mah hehe.
*NB: Cerpen ini pula telah dikirim ke media massa.
Tinggal nungguan honorna haha :D
0 comments:
Post a Comment