CERPEN Gara-gara Tiket KTP dan Kesalahan Lainnya




Gara-gara Tiket KTP dan Kesalahan lainnya


Rasanya, cukup ngilu jika harus mengingat kejadian itu. Kejadian yang cukup mengesankan sekaligus mengenaskan, sebenarnya. Layak dikenang, tak untuk diulang.

Tepatnya, dua tahun lalu, sehabis mengikuti sebuah pelatihan menulis berskala nasional yang diadakan oleh salah satu raksasa penerbitan buku nasional, yang karya-karya cukup fenomenal–dan beberapa di antaranya telah diadopsi ke dalam film layar lebar dari novel-novel yang diterbitkannya, di Yogyakarta, penghujung 2014 lalu.

Ada banyak hal yang telah aku korbankan demi mengikuti kegiatan ini. Tentu saja di luar waktu dan biaya. Biaya, bukan seberapa bagiku. Karena, nyatanya, kegiatan ini fure gratis tanpa dipungut biaya sepeser pun alias gratis. Tiga hari tiga malam. Plus makan dan penginapan. Begitu tiba di sana langsung dijemput, tak perlu khawatir. Tak usah risau. Apalagi galau. Plusnya lagi, begitu pulang, dapat sertifikat dan buku 200 eksemplar.

Bayangkan saja olehmu, tak kurang menarik apa pelatihan gratis semacam ini? Ilmu, sudah pasti dapat. Pengalaman iya. Relasi sudah pasti. Jadi, nikmat manakah yang kau dustakan? Alhamdulillah. Sesuatu. Hanya sekadar biaya transport saja sih yang mesti kukeluarkan. Dan itu mah wajar saja lah.

Masak iya sih pengin gratisan mulu, kendati iya memang begitu sih. Tapi, berkorban dikit tak apalah.

Bukankah cinta juga butuh proses dan pengorbanan? Iya, nggak? Sembari senyum dan bertanya pada salah satu pembaca setiaku ini. Iya, kamu. Kamu lho yang akhir-akhir ini selalu aku pikirkan..hehe :D

Kendati tentu saja, pelatihan tersebut harus melalui proses seleksi dan penyaringan oleh para kurator sebelum terpilih betulan. Ya, itu sih mekanisme. Ya, mekanisme. Dan untungnya, aku termasuk menjadi salah satu bagian dari 20 peserta yang berasal dari berbagai daerah se-nusantara yang maha luas ini.

Sedikit informasi saja sih, kata panitia, jumlah peserta yang daftar hampir 800. Sedangkan yang diambil hanya 20 biji saja. Alhamdulillah banget aku menjadi bagian yang 20 itu.

Salah satu pengorbanan yang cukup menyita perhatian ialah aku memilih untuk meninggalkan ujian akhir semester perkuliahan. Tepat di penghujung semester, jelang nyusun skripsi.

Berat. Iya berat memang. Tapi, aku memilih risiko yang berat itu. Selama aku bertanggung jawab, ya mengapa tidak. Soal itu membebaniku, ya anggap saja itu sebagai bentuk kosekuensinya. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani mencintai, berarti berani menyayangi, bukan melukai. *eaaaa

Aku korbankan ujian semesterku untuk pelatihan itu. Namun, bukan berarti aku meninggalkannya begitu saja dan memilih mundur. Bukan. Bukan sama sekali. Dugaan yang sangat meleset, melenceng bahkan. Ya, aku tetap akan mengikuti ujian itu, sehabis pelatihan.

Yang jadi masalah ialah aku harus siap jika ujian sendirian. Tanpa teman. Sialnya, tak ada teman untuk berdiskusi yang dalam hal ini tentu saja saling berbagi–jawaban. Selain itu, mesti punya kekuatan ekstra untuk kejar dosen kemana pun dia pergi. Minta soal ujian. Agar dapat nilai. Whatever, pengorbanan!

Kejadian itu bermula ketika hendak pulang ke Ciamis. Aku sengaja memilih pulang dengan buru-buru karena telah kadung berjanji pada pihak kampus, bahwa aku izin hanya dua hari saja. Lagian aku tengah ujian. Itulah yang menjadi alasan untuk segera pulang.

Ada kewajiban dan bentuk tanggung jawab di sana, yang selalu kupegang. Itu prinspip, kata Mario Teguh. Dan aku selalu berusaha untuk memegang prinsip itu dengan siapa pun. Termasuk dengan kamu juga...

Acapkali bepergian, khususnya pergi ke Yogyakarta, sekalipun jaraknya cukup jauh, aku selalu memilih mode transportasi umum khususnya bis, bukan kereta. Kendati estimasi waktu yang kutempuh tentu lebih lama dibanding naik kereta. Dua kali lipat. 10 jam untuk bis, dan sisanya 5 jam jika pakai kereta.

Kebayang kan betapa cangkeul dan tépos-nya bujurku jika pakai bis? Tapi, tak masalah. Santai saja, bro.

Aku memilih opsi pertama. Ada beberapa alasan yang menyebabkanku memilih opsi pertama, salah satunya kenyamanan. Bukankah faktor kenyamanan teramat penting dalam hidup ini? Cinta juga butuh kenyamanan, bukan? *eaaa

Setidaknya, di dalam bis, aku punya waktu luang untuk merenung, berpikir, dan juga istirahat. Tidur ketika diperjalanan tepatnya. Selain itu, fasilitas dan pelayanannya pun cukup bagus. Mobilnya bagus. Sopirnya oke, sopan dan santun, gak neko-neko, apalai ugal-uagalan. Pelayanannya tepat waktu. Gak lelet apalagi ngetem. Penumpang dapat fasilitas makan dan istirahat, utamanya sholat.

Alasan sederhana ini, tentu saja tidak untuk mengenyampingkan kendaraan lain atau pun kereta. Tidak untuk membanding-bandingkan. Ini hanya masalah kenyamanan aku pribadi saja. Yang berarti pandangan subyektif saja berdasar pengalaman yang ada. Sebab, faktanya, aku pun termasuk orang yang suka naik kereta. Rasanya, oke banget. Cepat dan praktis!

Kembali ke cerita, ya.

Pagi itu, tepat pukul 09.00, dari tempat pelatihan aku bergegas menuju terminal Giwangan, salah satu terminal terbesar yang ada di Yogyakarta, kota pelajar itu. Menuju terminal, aku diantar sopir operasioanl, mas Agus namanya. Dia bertugas untuk antar jemput peserta, ketika sampai di Yogyakarta–dan hendak pulang dari Yogyakarta.

Kurang lebih, setengah perjalanan menuju terminal besar itu. Tepat setengah sepuluh, aku berada di sana.

Jadwal mobilnya jam berapa, mas?” tanya mas Agus, yang wajahnya mirip Kim Jong Un itu, presiden Korea Utara yang sangat disegani dan ditakuti oleh sebagian besar pemimpin negara adidaya.

 “Jam sembilan, mas...”

Lho kenapa nggak ngomong dari tadi..” mas Agus dengan sedikit terkaget, menimpali jawabanku, tetap dengan raut muka yang makin mirip Kim Jong Un.

Tenang saja, mas. Biasanya masih ada kok. Banyak. Panjenengan gak usah khawatir. Jam 10 maksimalnya,” timpalku, kendati sebenarnya tak yakin dengan ucapanku itu.

 “Oh, begitu ya. Yo wis, mas. Ndak apa-apa kan kalau ditinggal? Soalnya masih ada peserta yang harus diantar ke bandara. Takut telat...”

Gak apa-apa, mas. Santai wae. Masih ada lah. O ya, terima kasih lho. Maaf ngerepotin.” kali ini aku berusaha meyakinkan, sembari berjabat tangan tanda terima kasih.

Dia pun berlalu mengendarai mobil hitam itu, meninggalkan termninal besar yang cukup megah ini.

Dua puluh menit berlalu. Dan tak ada satu pun yang biasanya kutumpangi itu tampak. Aku mencoba bersabar. Toh, baru dua puluh menit ini, pikirku. Dua puluh menit berikutnya, mobil pun tak kunjung ada. Aku mulai gelisah. Jangan-jangan memang sudah habis, pikirku kemudian.

Untuk mengurangi kegelisahanku, aku mencoba mengelilingi terminal besar ini. Ruang peruang. Dari satu sudut ke sudut lain. Cukup megah, luas, besar dan ramai. Deretan kendaraan, antrian penumpang. Para pedagang dan sederet keramaian lainnya tampak serta terdengar begitu riuhnya.

Secara perlahan, perut mulai lapar. Untuk mengobatinya, aku masuk ke salah satu warung yang ada di bagian dalam terminal ini. Untuk sekadar duduk dan berisitirahat barang sebentar saja, sembari membeli gorengan dan the hangat. Dan tak lupa, ikut mencharge HP, karena batrainya perlahan habis. Hitung-hitung menunggu mobil. Kalau pun nggak ada, ya pasrah saja lah.

Mau kemana to, mas?” tanya ibu pemilik warung yang tampak ramah itu

“Ke Ciamis, bu,” sahutku seraya memegang gorengan

“Walah... jauh juga ya.”

“Iya, bu.” aku menganggukan kepala, “O iya, bu, kira-kira bis Budiman masih ada nggak ya?” sambungku lagi.

“Eumm..kurang tahu, mas. Tapi biasanya nyampe jam 9 perasaan. Kurang tahu juga jelasnya.”

Begitu ya, bu.” Aku pun bergegas menuju PO Budiman di sekitaran terminal –dan tak lupa menyodorkan uang jajan, 7 ribu rupiah saja. Untuk pembelian empat gorengan, dua lontong, dan secangkir the hangat.

Di depan PO Budiman, aku terdiam sesaat. Sesekali menengok kekiri, sesekali lainnya menengok kekanan. Lengang. Cukup lengang. Tak ada mobil Budiman, tak ada penumpang. Hanya tampak pegawainya saja.

“Pak, maaf, untuk yang ke Ciamis masih ada?”

“Sudah habis. Tadi jam 9 terakhir.”

Aku diam, tak bergeming.”Oh begitu ya, pak.”

Aku pun bergegas meninggalkan PO Budiman itu dengan raut kecewa. Aku tak jadi pulang hari ini. Tak ikut ujian esok pagi. Dan hal-hal tak terduga lainnya.

Sembari menenangkan diri, kendati tentu saja tak tenang aslinya. Aku berupaya mencari cara untuk bisa pulang hari itu juga. Ya, hari itu juga!

Dalam posisi seperti itu, aku teringat bahwa masih ada kereta yang mungkin bisa mengantarkanku pulang ke Ciamis. Ya, hanya itu! Jika ada selain itu, aku takkan memilihnya.

Aku telah kadung menjadi penikmat setia bis Budiman. Aku kadung nyaman. Jika pun ada, tetap saja pelayanannya cukup mengecewakan. Hal ini berarti, bahwa aku tipikal orang yang setia. *eaaaa.

Pasalnya, pernah suatu waktu, mencoba bis lain selain Budiman. Begitu diperjalanan aku dilempar ke sana-kemari. Di dalamnya cukup panas. Mobilnya seenaknya saja berhenti. Turun naikan penumpang di jalan. Sudah begitu, penumpang bebas merokok. Sehingga tentu saja mengganggu kenyamanan penumpang yang bukan perokok, ibu-ibu—terutama ibu-ibu hamil, dan pula aku yang kebetulan bukan perokok, tapi pernah merokok untuk sekadar coba-coba–dulu sekali, dan nggak enak menurutku. Rasanya cukup tersiksa euy!

Hal itulah yang membuatku enggan berpindah ke kendaraan lain, tak terkecuali kereta. Bis yang menjadi langgananku itu begitu on time, tepat waktu. Tak peduli penumpangnya ada berapa. Dia akan tetap melaju. Bahkan pernah suatu waktu, penumpangnya hanya 8 orang saja, sedangkan kapasitasnya mencapai 40 orang. Tetapi bis ini tetap berangkat.

Otomatis di dalam mobil cukup lengang. Sangat kosong. Begitu leluasa. Hal itu tentu saja membuatku bebas pundah-pindah korsi.

Aku mencoba mencari informasi di internet tentang pemesanan tiket kereta secara online. Barangkali saja untuk hari ini masih ada tiket yang tersisa, yang masih kosong–atau ada penumpang yang membatalkan keberangkatannya. Dengan begitu, dia dapat diganti. Dan ini kesempatan emas.

Setelah kucari-cari, tak ada yang kosong juga. Semuanya penuh. Selang beberapa menit, karena penasaran, kucari lagi dengan begitu semangat. Dan, alhamdulillah, di pencarian ketiga, ada satu tiket yang tersedia. Hal ini, berarti, apa pun yang kita perjuangkan, percayalah dia akan membuahkan hasil, begitu kata pepatah. Dan itu yang aku alami.

Ada harapan bahwa hari ini aku akan pulang. Ya, aku pulang!

Akhirnya kuputuskan untuk sesegera mungkin menuju stasiun Lempuyangan . Takut-takut jika telat sedikit saja, tiket itu sudah ada yang nyerobot duluan. Untungnya, di area Giwangan ini, banyak tukang ojek resmi yang ditugaskan oleh Pemkot Yogyakarta dan Keraton. Sehingga aku tak kesulitan untuk menuju ke stasiun Lempuyangan yang jaraknya cukup lumayan jauh itu.

Aku sendiri cukup kerepotan ketika menuju ke sana. Barang bawaanku cukup banyak dan berat. Apalagi dengan dus yang isinya buku. Kira-kira bobotnya sampai 60 kg-an. Dus itu kuletakan di tengah. Persis di atas pahaku. Takut basah dan menjadi mubah. Karena pada waktu itu, hujan perlahan turun. Untungnya aku segera tiba di stasiun, sehingga tidak terlalu kuyup.

Begitu memasuki gerbang stasiun ini, lalu lalang orang cukup riuh. Hilir mudik ke sana ke mari. Sangat ramai. Begitu sibuk dan berisik. Antrian tiket cukup panjang.

Akhirnya, tiba giliranku, setelah berdesak-desakan dengan susah lagi payahnya. Sangat takut kalau tiket itu habis lagi. Entar yang ada aku kecewa lagi.

Mau hendak kemana?” tanya petugas itu.

“Ciamis, Bu. Masih ada kan?”

“Bentar ya dicek dulu...,”

Aku mengangguk.

“Ada, pak. Masih ada. Nanti jam 2 siang berangkatnya. Gimana jadi pesan kan?”

“Alhamdulillah, jadi, bu. Jadi...,” timpalku dengan begitu bahagia, seraya mengucap syukur.

“Coba lihat KTP-nya, pak?”

OMG! Aku membeku seketika. Aku baru sadar, bahwa, aku tak punya KTP hari itu. Jangankan untuk KTP, bahkan untuk kartu mahasiswa berikut kartu perpus saja tak punya. Semuanya raib tak tersisa, seminggu sebelum berangkat ke Yogyakarta, ketika shalat Ashar di sebuah mesjid di sekitaran lapangan futsal GR, Ciamis sana. Berikut uang SPP semesteran, kumpulan hadits, dua botol madu, dan dokumen-dokumen penting lainnya.

Untungnya, aku masih punya copyannya. Jadi masih bisa digunakan untuk jaga-jaga.

Sial!

Benar kata bang Napi, kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tetapi karena kesempatan. Sialnya, kesempatan itu dimanfaatkan di tempat ibadah. 

Apa jangan-jangan biar terkesan maling syar'i-ya?

 “Kebetulan saya tak punya KTP, bu. Yang asli maksudnya. Adanya cuma foto copyannya saja. Seminggu lalu baru kehilangan, bu. Jadi belum sempat bikin lagi. Kalau surat keterangan hilanga dari polisi ada, bu...,” ungkapku lebar menjelaskan.

“Coba lihat...,”

“Ini, bu.”

“Nggak apa-apa. Bisa. 100 ribu totalnya.”

Sykurlah. Alhamdulillah.

“Nanti pukul 2 jadwalnya, pak. Jangan telat,” katanya kemudian.

 Aku mengangguk sambil tersenyum berlalu meninggalkan loket itu.

Sehabis mendapat tiket, mungpung ada waktu, aku berjalan mencari toilet juga mushola untuk sholat dan beristirahat sejenak. Hitung-hitung menunggu kereta. Lagian masih lumayan lama datangnya, pikirku.

Setengah dua, aku kembali ke area loket, tepatnya pintu gerbang lokasi menunggu kereta. Karena pihak kereta memberikan informasi, katanya, para penumpang setengah jam sebelum kereta datang harus segera ke sana.


 
Antrian pun kembali memangjang. Kali ini cukup tertib. Ada tiga petugas keamanan yang berjaga di sana. Mukanya tampak sangar. Badannya kekar. Dan posturnya cukup tinggi.

Para penumpang satu persatu dimintai menunjukan tiket dan kartu identitasnya. Dicek dengan begitu teliti dan detailnya. Tak ada yang terlewat. Sejauh ini, tampak tak ada masalah. Baik-baik saja.

Namun begitu tiba giliranku, petugas yang perawakannya agak gemuk itu, menanyakan tiket. Dan bermula dari sana, masalah itu perlahan tiba juga. Sialnya menimpa diriku.

Selamat siang, Pak. Bisa ditunjukan tiketnya?” pinta petugas itu.

“Ya, bisa, Pak.” kusodorkan tiketnya dengan begitu mantapnya, tanpa kendala apa pun.

Selang satu menit, petugas itu pun kembali bertanya, “Ada KTP-nya? Bisa saya lihat?”

Kali ini aku diam, beberapa jenak. Sebelum akhirnya kurogoh tasku. Ada satu foto copyan KTP yang kukeluarkan. Agak sedikit lepet, memang. Tapi, ya itulah yang ada saat itu. Satu-satunya peninggalan identitas setelah kecolongan di mesjid.

Dengan sedikit ragu, kusodorkan foto copyan itu dengan memasang wajah yang ramah.

Petugas itu diam. Tak menyahut. Dia mengamati foto copyan KTP ku dengan begitu dingin, “yang aslinya, pak.” pintanya dengan nada yang datar-datar saja.

Mana yang aslinya, pak? Buruan?!” sergah petugas yang lain, yang berdiri di sampingnya itu. Dia tampak kurusan dikit.

Aku masih diam, tak menyahut juga. Mencari alasan yang tepat.

“Begini, pak. Minggu lalu saya habis kecolongan, jadi KTP asli saya tak ada ikut hilang juga, pak. Sekarang masih proses pembuatan,” kataku menjelskan perlahan.

Kita butuh yang asli, pak! Bukan foto copyan!” kali ini petugas itu sedikit tegas, suaranya perlahan meninggi.

Aku tersedak mendengar ucapan petugas itu, sedikit kaget. “Begini, pak. Minggu lalu saya habis kecolongan, jadi KTP asli saya tak ada ikut hilang juga, pak. Sekarang masih proses pembuatan. Kalau bapak nggak percaya, saya bawa juga keterangan hilangnya dari kepolisian. Barangkali bisa dimaklumi, pak...,” kali ini aku mengulangi jawaban dengan sedikit tambahan dan nada memohon kebijakan.

“Identitas yang lain. Selain KTP. Asal yang asli! Ada?”

“Tadi sudah saya jelaskan, pak. Minggu lalu saya kena musibah. Dan salah satunya identitas asli saya raib semua. Tak tersisa. Yang ada ya cuma itu. Coba bapak lihat, foto itu kan foto saya, pak. Asli. Saya mohon kebijakan dari bapak. Saya sudah kadung berjanji untuk pulang hari ini. Besok saya ujian di kampus. Mohon kebijakannya...” kali ini aku memohon dengan wajah yang sangat memelas, sangat pasrah.

Asli dari mana?! Ini foto copyan!!!” kali ini petugas yang tampak gempal itu tampak tak sabaran, sangat kesal. Dia menggebrak meja dengan begitu kasarnya. Foto copy KTP yang dipegangnya, dia lempar ke meja. Matanya melotot. Wajahnya memerah. Dia betulan marah. Kesal dengan jawaban-jabawan dariku.

Padahal, sebetulnya, aku bicara baik-baik. Dengan nada yang merendah pula. Kendati mungkin saja aku yang salah, yang tetap ngeyel ingin pulang dan lolos dari penjagaan petugas itu.

Toh, aku juga pakai tiket, bukan ilegal, apalagi nerobos. Apa salah jika memperjuangkan hak? Enggak salah bukan? Bukankah di negeri ini orang yang sudah jelas-jelas koruptor saja bebas membela dirinya bahkan dengan puluhan pengacara sekali pun sebagai pembelanya?

Aku sedikit terpancing kali ini. Emosiku perlahan meninggi. Mulutku seakan meledak begitu saja memuntahkan kata-kata. Hanya saja berusaha sekuat tenaga untuk kutahan. Agar tidak menjadi masalah yang serius.

Antrian tiket sedikit gaduh. Orang-orang terlihat tegang. Kaget dengan gebrakan meja dan bentakan petugas keamanan yang meninggi. Mereka menatap ke arah kami.

Saya bicara baik-baik, pak. Datang baik-baik pula. Beli tiket iya. Saya harus pulang ke Ciamis. Besok ujian. Lagian pak, tadi saya beli tiket ini pake foto copya nggak apa-apa. Tapi kenapa sekarang jadi masalah? Sekali lagi saya mohon kebijakannya...,”

Sekali nggak bisa. Tetap nggak bisa! Ini aturan. Aturannya pake identitas asli, ya pake identitas asli. Bukan foto copyan!” timpalnya, begitu keras, begitu tegas.

Aku diam tak menyahut. Kubiarkan dia membentak. Aku pasrah kali ini. Mungkin aku memang tak diizinkan pulang untuk hari ini, barangkali. Hanya saja perlakuan petugas-petugas itu dirasa cukup berlebihan. Ada cara yang lebih baik tentu saja untuk mengkomunikasikan hal ini. Berdialog dengan tenang, bukan tegang. Melihat dari banyak sisi, bukan hanya satu sudut pandang saja.

Salah satu pucuk pimpinan petugas stasiun itu mendengar keributan itu. Dia pun bergegas ke arah kami, “Ada apa ini ribut-ribut?” tanyanya penasaran.

“Ini, pak. Penumpang tak bawa KTP. Tapi ngeyel ingin berangkat juga. Padahal sudah dicegah.”

Pimpinan petugas itu menatapku. Tajam. “iya seperti itu? Ya sudah, silakkan hubungi CS. Jangan halangi penumpang lain. Barang bawaannya kepinggirkan!” tegasnya.

Tanpa basa-basi, aku pun bergegas ke ruangan CS dengan diselimuti perasaan kecewa sekaligus tak kuasa menahan marah.

“Ada yang bisa dibantu, pak?” tanya salah satu petugas CS, dia tampak begitu muda.

Saya tak bisa pulang hanya karena nggak ada KTP. Padahal telah saya jelaskan masalahnya. Tapi, tetap tak bisa.”

“Itu udah tepat, pak. Memang aturannya seperti itu.”

“Masalahnya kan besok saya ujian, bu. Jadi saya harus pulang hari ini juga. Barangkali ada kebijakan yang bisa saya terima dengan baik, bu...,”

“Nah, dari kami, ya itu kebijakannya, pak. Kami hanya menjalankan aturan. Jika meloloskan bapak, nanti kami juga bakal kena teguran dari atasan,” katanya, lebar.

Tapi gak bisa begitu juga kan, bu. Masalahnya tadi begiitu saya beli tiket, kok dikasih. Padahal kan pakai foto copy KTP. Kenapa gak dijelasin di sana? Jangan kok malah dikasih tahunya begitu mau berangkat. Lha, ya, jelas saya yang rugi dong, bu? Ini yang membuat saya tak bisa terima...,”

“Pak, mohon maaf. Sekali lagi mohon maaf. Ini kebijakan baru. Kalau bulan lalu emang sedikit longgar. Untuk sekarang, tengah ditingkatkan lagi keamanannya. Apalagi ini kan jelang tahun baru—dan masih suasana libur panjang. Takut terjadi apa-apa. Terlebih lagi musim teroris,” petugas CS itu menjelaskan dengan rinci.

Kali ini aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Diam. Hanya diam mendengar kata-katanya barusan.”Baiklah, bu. Jadi tetap ya, saya tak bisa berangkat? Kalau begitu apa dong timbal balik buat saya? Ini kan bukan sepenuhnya kesalahan saya. Kalau saya tak bisa berangkat, berarti uang pembelian tiketnya bisa ditarik kembali 'kan? Seperti yang tertera di papan informasi itu?” tunjukku.

Mohon maaf sekali bapak. Tiket ini udah lebih dari setengah jam. Jadi gak bisa ditukar dan ditarik kembali uangnya. Kalau misalkan tadi masih bisa, pak.”

Aku pun melongo mendengar kata-kata itu. Uangku hangus begitu saja. Tiketku tak bisa digunakan. Uangku tak dikembalikan. Aku pun batal pulang sepertinya. Seketika, aku pun bergegas meninggalkan ruang CS dengan raut yang sangat kecewa. Sangat-sangat kecewa.

Rencana pulang hari ini benar-benar buyar. Ujian esok pagi batal. Dan pada posisi seperti itu, aku merasa remuk redam, tak kuasa menahan kecewa. Hujan yang tak kunjung reda, seakan menebalkan rasa kecewaku hari itu.

Hati risau
Pikiran kacau
Jadi galau
Kacau balau

Sederet barang bawaan. Sekardus buku. Dan setumpuk kekecewaan menyatu bersama aliran hujan yang tak kunjung reda. Ya, sudah, aku akan balik lagi ke terminal–dan menitipkan setangkup tubuhku di sana.

 Aku yang kadung kecewa, segera menghubungi dekan ihwal izinku yang diperpanjang—karena tak bisa pulang hari ini. Untungnya, aku sangat akrab dengan pucuk pimpinan kampus. Hampir seluruh dosen-dosen yang ada di kampusku, aku mengenalinya—dan sebagian besarnya sangat akrab bahkan. Jadi, jika ada hal yang dirasa sulit, aku dapat memecahkannya.

Hanya saja aku kecewa dengan kejadian itu. Kejadian yang cukup menyedihkan memang. Berada di perantauan. Terombang-ambing layaknya kapal yang diterjang ombak, namun tak kunjung sampai ke tepian. Risikonya jatuh atau tenggelam, sangatlah besar. Dan aku berada di antara keduanya.

Sekali lagi, kejadian ini layak untuk dikenang, namun tidak untuk diulang. Cukup jadikan pengalaman berharga. Pepatah lama mengatakan, an experience is the best teacher, ya seperti itulah hidup! Belajar dari pengalaman, biar begitu, dia adalah guru yang teramat baik, bagi kita–di masa mendatang.

Dan, dalam sebuah kesempatan, jika aku mengingat kejadian itu, aku sempat berpikir bahwa andai saja aku tidak sedang merantau–dan kejadian itu berada di kotaku sendiri, niscaya akan kurobek tiket itu tepat di hadapan petugas itu! 

Ya, akan kulakukan. Apa pun risikonya. Itu yang terbesit di otakku jika mengingat kejadian tersebut. Saking kesal dan kecewanya aku dengan perlakuan model begitu.

Akan tetapi, aku teringat dengan pribahasa ini—dan aku mengiyakannya, bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit mesti dijunjung. Itulah yang aku gunakan. Aku segera insyaf serta sadar bahwa aku tengah di Yogyakarta bukan Ciamis, apalagi Rajadesa.

Untung saja, sisi kemanusiaanku—dan rasa sabarku, sepertinya tengah berpihak padaku. Kendati kenyataannya memang telah terpancing, tapi untungnya masih bisa tertahan.

Yogyakarta-Ciamis-Rajadesa, Stasiun Lempuyangan-Terminal Giwangan, 2014-2015.




SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments: