RESENSI BUKU CERITA PILU MANUSIA KEKINIAN



Merawat Nalar dan Hakikat Kemanusiaan


Judul Buku : Cerita Pilu Manusia Kekinian
Penulis : Edi AH Iyubenu
Pengantar : DR. Ach Maimun
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2016
Tebal : 264 Halaman
ISBN : 978-602-0806-71-6

Dewasa ini tingkat kewarasan kita sebagai manusia telah banyak melenceng dari fitrah dan hakikatnya; berakal, berbudi luhur, berhati lembut—peduli sesama dan lingkungan sekitar, kini berbanding terbalik sedemekian hebatnya. Fitrah dan hakikat kemanusiaan tersebut telah menjelma binatang; buas, serakah, pongah, dan tak peduli sesama.

Modernisme. Begitulah salah satu biang utama yang menyebabkan manusia menjauh dari fitrah dan hakikatnya. Modernisme telah memperbudak manusia dengan doktrin-doktrin kebahagiaan dunia, bahwa hidup yang bahagia adalah hidup yang bermateri gelimang, berharta banyak, berderet gelar, dan berpangkat tinggi—tanpa bermaksud menyalahkan sepenuhnya modernisme sebagai biang keruwetan tersebut, tetapi inilah bukti nyatanya kini.  

Modernisme telah menjauhkan manusia kekinian (modern) dari nilai-nilai kemanusiaannya. Nilai kemanusiaan tersebut akan ada pada diri manusia jika berpegang teguh pada agama, apa pun itu. Sebab, hanya dalam agama-lah nilai-nilai spiritualitas itu ada. Kendati tidak selalu orang yang beragama merawat hakikat kemanusiaannya, puncak spiritualitasnya. Karena pada sebahagiaan lain, kita pun kerap menyaksikan betapa perilaku orang beragama, justru melenceng jauh dari ajarannya, bahkan lebih buruk dari yang tidak beragama sama sekali.

Contoh kecilnya, betapa sering kita menyaksikan orang berperilaku bar-bar atas nama agama, bersikap ekstrem atas nama membela agama, dan suka menganggap diri paling benar di antara aliran lain di luar mereka, dan sebagainya.

Buku ini menawarkan gagasan-gagasan segar untuk merawat nalar dan hakikat kemanusiaan kita dengan berbagai pendekatan. Baik pendekatan spiritualitas, agama, sains, filsafat, maupun teori-teori yang relevan dengan situasi dan kondisi yang terjadi–klasik atau pun modern yang dipadupadankan tanpa mengenyampingkan satu dengan lainnya.

Pada bagian pertama, Edi AH Iyubenu berupaya merenungi kembali hakikat dan perilaku keagamaan kita. Salah satunya dalam hal berdakwah yang terkesan kolot, kaku, beku, dan spanengan, menganggap diri paling benar, sehingga sulit menerima pandangan lain. Puncaknya kita kerap berperilaku ekstrem, bahkan melakukan tindakan yang menista, memaki, hingga mencap mereka sebagai yang “kafir” dan kita yang “benar”.

Inilah yang dirasa melenceng dari nilai dakwah amar ma'ruf nahi munkar; menebar kebaikan dan mencegah keburukan. Padahal, sebetulnya, ada metode-metode lain yang bisa digunakan dalam berdakwah secara lebih santun sebagai mana dikatakan M Quraish Shihab, ahli tafsir terkemuka yang dimiliki Indonesia. Pertama, berdakwah dengan hikmah. Cara ini diperuntukan bagi mereka yang cerdik dan pandai. Dua, mau'izhah, yang dipertuntukan untuk umum berupa nasihat yang menyentuh hati. Tiga, jidal, yakni berdiskusi mematahkan argumen lawan dengan bukti-bukti (halaman 34-36)

Begitulah salah satu hal yang seyogiyanya direnungi dan kita insafi segera, bahwasannya berdakwah itu menebar kebaikan dan mencegah keburukan. Sehingga apabila sebaliknya, maka harus dihindari secara segera. Sekalipun tujuannya baik tetapi jika caranya melenceng, maka akan menimbulkan malapetaka–tidak hanya pada diri–bahkan juga agamanya.

Selanjutnya, pada bagian lain, isu Feminisme juga disorot oleh penulis yang juga kandidat doktor Islamic Studies, UIN Kalijaga, Yogyakarta ini. Dia berpandangan, bahwa akhir-akhir ini kaum wanita modern banyak termakan isu-isu Feminisme barat. Di mana banyak wanita yang telah berumah tangga, tetapi bersikap ngeyelan, cerewet, dan tidak tunduk lagi pada suaminya–atas nama HAM, hak perempun, dan itu semua akibat dari buah Feminisme itu sendiri. Padahal, dalam Islam tidak mengenal istilah Feminisme.

Relasi wanita-lelaki secara hakikat bukanlah relasi berhadapan, head to head, tetapi berjamaah untuk saling melengkapi. Pada level-level tertentu, pemimpin (lelaki) sudah pasti harus mendengarkan pendapat yang dipimpinnya. Tetapi, pemimpin hanya boleh ada satu. Tidak mungkin di satu rumah tangga ada dua singa, dua, raja, pasti bubrah. (halaman 128)

Hal yang tak kalah menarik dalam buku ini ialah bagaimana kita di era kini telah diperbudak modernisme dengan ajaran materialisme, konsumerisme, dan individualisme sedemikian ganasnya. Betapa kita sering mendengar ada anak yang ditelepon orang tuanya yang ingin bertatap muka dengan si anak, tetapi si anak tak bisa hadir dengan dalih sibuk pekerjaan, ada meeting di luar kota, dan sebagainya. Ya, inilah buah dari modernisme. Kendati pada sebagian lain modernisme telah menolong kita pada banyak hal, semisal kemajuan teknologi, internet, televisi, dan lain hal.

Sayangnya, kita lupa pada hakikat kemanusiaan kita, bahwa sejatinya nilai-nilai hidup yang bersendikan spiritualitas, akhlak, perseduluran, local wisdom, dan kebajikan batin merupakan elemen primordial yang membedakan manusia dengan batu (halaman 182) Inilah potret kehidupan kita kini yang membuat manusia-manusianya serakah, rakus, dan buas layaknya binatang yang mengedepankan nafsu, rasa ingin menguasai, serta menindas, sesat nalar dan bebal batin.

Akhirnya, tidak ada cara lain bagi kita selain kembali berupaya merawat nalar dan hakikat kemanusiaan dengan cara merenungi, menghayati, menjunjung, dan mempraktikan ajaran spiritualitas keagamaan yang cinta damai, secara utuh dan sungguh-sungguh.  

SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments: