Plis, Jangan Marah




Plis, Jangan Marah

Lazimnya semua kita ketika dihadapkan dengan hal yang nggak enak, nyebelin, dan nggak menyenangkan, hal yang seketika muncul ialah marah. Ya, marah. Bahkan kalau nggak kekontrol, bisa murka, membabi-buta malah.

Tentu kemarahan-kemarah tersebut nggak datang begitu saja. Umumnya ya karena hal-hal yang kurang menyenangkan itu tadi. Misalnya, karena tersinggung, dijailin orang, diputusin pacar, dan lain sebagainya. Intinya, karena hal-hal yang kurang mengenakan.

Sebenarnya wajar sih jika kita marah, terlebih dengan alasan-alasan seperti itu tadi. Sangat manusiawi. Sifat-sifat itu memang melekat. Sialnya, terkadang kita terlalu over dosis marahnya. 

Parahnya lagi, kita pun demen banget marah hanya karena hal-hal cetek dan sederhana, tapi kok marahnya sedemikian murka dan membabi buta bahkan. Persis seperti singa kelaparan. Apa-apa yang ada didekat kita kena getah, imbas, dan juga jadi sasaran kemarahan. Padahal mereka nggak tahu menahu masalahnya, misal.

Jelas, ini keliru. Sangat-sangat keliru. Iya sih marah itu manusiawi. Tapi, jika kita mau bersabar sedikit saja, sebenarnya jika kita tahu akar masalahnya kita nggak akan gampang marah. Beneran lho. Malah, jika mau berpikir jernih, di balik ujian-ujian yang katakanlah nyebelin dan membuat kita marah itu niscaya mengandung hikmah di dalamnya. Hanya saja kita tidak menyadari akan hal itu. Akhirnya kita menjadi mahkluk yang gampangan marah-marah, emosi, dan sensian. Baperan mulu.

Padahal, dalam sebuah hadits dikatakan, suatu hari, ada seorang pemuda yang menemui Rasulullah. Pemuda tersebut hendak meminta nasihat kepada Rasulullah, lalu dia berkata begini, “Wahai Rasulullah, nasihatilah saya,” kata pemuda tersebut. Lalu Rasulullah bersabda, “Jangan marah.” sabda beliau.

Pemuda itu lantas menanyakan hal itu secara berulang-ulang. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, “Jangan marah.”--HR Bukhari)

Iya, sulit memang menahan marah. Siapa pun nicaya akan sangat sukar untuk mencegahnya, terlebih jika sifat itu telah mendarah daging dalam diri kita. Tentu akan sangat sulit untuk dibuang. 

Bawaannya ingin marah melulu. Dikit-dikit ngambek. Tersinggung dikit langsung nyolot. Tapi, apakah dengan hanya mengandalkan marah semua masalah akan kelar dan usai? Tentu saja nggak akan mungkin. Marah hanya akan membuat masalah makin runyam dan malah melahirkan masalah baru lagi.

Lalu, adakah cara terbaik untuk meredakan marah? Jawabannya ada. Dan semua kita memang sudah tahu akan jawabannya, yakni bersabar. Ya, sabar. Sayangnya, semua kita, kendati tahu bahwa sabar adalah cara terbaik meredam marah, justru kerap gagal dalam mempraktikannya.

Sabar hanya sering dijadikan hujah oleh kita kepada orang lain yang memang sedang dilanda marah atau musibah. Eh, giliran menimpa kita dan di waktu yang sama dinasihati orang lain untuk bersabar, kita malah menukas begini, “sabar-sabar, sabar ada batasnya!” tegas kita dengan begitu emosional.

Misal, kita jadi sebegitu marah dan murka hanya karena kekasih hati ditikung/diambil teman kita sendiri. Lalu kita pun marah-marah karena hal tersebut. Bahkan detik itu juga mendeklarasikan diri untuk nggak mengenal lagi teman yang sejak kecil selalu ada bersama kita, hanya karena dia mengambil kekasih hati kita dengan dalih sakit hati dan merasa dikhianati. Lalu pertemanan kita rontok.

Secara manusiawi memang wajar-wajar saja kok. Siapalah gerangan yang nggak sakit hati dengan hal itu. Semua kita memang akan bersikap demikian; sakit hati dan marah. Tapi apakah dengan hanya bersikap seperti itu masalah selesai? Atau apakah dengan sikap kita yang enggan lagi mengakuinya sebagai teman semua masalah tuntas?

Jika hanya berkaca pada kepuasan, tentu kita akan merasa puas. Tapi semuanya hanyalah bersifat sesaat dan sementara waktu—lalu, di lain kesempatan kita akan menyesalinya karena telah kehilangan segalanya. Ya, kehilangan kekasih sekaligus pertemanan.

Padahal, jika kita mau berpikir jernih dan sedikit dingin, tentu hal semacam ini dapat dihindari. Bisa jadi karena kekasih itu memang tidak baik untuk kita dan bisa pula karena Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki diri—dan atau boleh jadi Allah telah mempersiapkan seseorang yang lebih baik untuk kita. Hanya saja kita kurang bersabar dan pandai dalam menyikapinya.

Ah, sial, mengapa kita demen banget ya menasihati orang begini dan begitu—tapi di lain waktu kita pun nggak sadar dengan hal-hal yang cukup sederhana, serupa menahan marah itu tadi.

Padahal, kata hadits, Orang kuat itu bukanlah orang yang kuat dalam bergulat, tetapi orang yang kuat itu ialah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah—HR Bukhari.

Jadi, seberapa kuat diri kita bukanlah seberapa kuat kita bergulat, marah-marah, sensian, maupun emosian dan baperan—tetapi terletak pada seberapa kuat kita menahan marah dan bukan seberapa doyan kita marah.

Jadi, masihkah kita marah-marah—hanya karena kekasih ditikung teman? Plis, jangan marah.

King Village, Maret 2017




SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment