Jadilah Pemaaf bukan Pembenci

islamedia.id

Siapalah gerangan yang nggak pernah merasa kesal, marah, jengkel, dan kecewa pada seseorang—entah itu pada orang tua kita, saudara, teman, guru-guru kita maupun sahabat kita sendiri?

Semua kita, sangat niscaya mengalami hal tersebut. Lebih-lebih ketika dikhianati, dibohongi, dan dikecewakan oleh orang-orang yang selama ini selalu kita percayai. Otomatis perasaan marah, kesal, kecewa, jengkel, sontak akan menjelma dalam diri kita, tanpa sadar, tanpa diduga.

Namun, apakah kekesalan, kekecewaan, kemarahan, dan juga kejengkelan itu sedemikian akutnya hingga kemudian membuat kita begitu enggan untuk menerima permohonan maaf atas segala khilaf dan salahnya secara mentah-mentah itu karena kita telah kadung kecewa dan sakit hati, misal.
Dalam konteks kemanusiaan kita, memang itu merupakan hal yang wajar-wajar saja sebenarnya. 

Siapalah gerangan yang nggak sakit hati, kecewa, sedih dan marah ketika kita dikhianati, dibohongi—semua kita niscaya akan merasakannya. Sedih, kecewa, marah, kesal dan jengkel.

Lebih-lebih jika hal itu dilakukan oleh orang-orang yang selama ini kita percaya. Jika itu terjadi, niscaya kita akan sangat kecewa dan merasa sakit hati yang luar biasa. Sakit bukan kepalang.

Bahkan jika nggak mampu menahan emosi, kita akan sangat mudah menjadi murka, marah, dan benci sebegitu hebatnya seolah-olah mereka semua penjahat kelas kakap yang layak ditangkap, dimaki pula dijatuhi sanksi—dan nggak ada sedikit pun hal-hal baik ada pribadinya sekalipun kita sempat mengenalnya sebagai teman, sahabat, karib dan saudara yang teramat baik bagi kita hanya karena kesalahan yang dilakukannya itu.

Padahal, boleh jadi, kejadian itu merupakan balasan yang setimpal bagi kita karena pada suatu masa tertentu kita pun pernah bersikap demikian pada orang lain dan kita nggak pernah menyadari hal itu seolah-olah kita memang makhluk yang paling baik dan nggak pernah berbuat salah, sama sekali.

Imbasnya kita enggan untuk berintrospeksi diri, bermuhasabah diri, dan sekalinya hal yang kurang menyenangkan itu menyerang pribadi kita, lantas sulit bagi kita untuk menerima kenyataan itu dengan lapang dada hingga membuat kita menjadi seorang pembenci, seoang pendendam bahkan yang enggan memberikan maaf atas kesalahan orang lain.

Andai saja kita tahu bahwa menjadi pribadi pemaaf itu merupakan sebuah kemuliaan, niscaya kita nggak bakalan pernah untuk menjadi seorang pembenci apalagi sebagai pendendam.

Seberat apa pun masalah dan kesalahannya, niscaya kita akan memakluminya sebagai sebuah kesalahan yang manusiawi. Sebab kita sadar, bahwa kita hanyalah manusia yang nggak pernah luput dari khilaf dan salah. Pun nggak selamanya pula salah selayaknya setak dan nggak selayaknya patuh dan taat selayaknya malaikat.

Memaafkan kesalahan orang lain memang nggak semudah membalik telapak tangan. Perlu hati yang tulus, ikhlas, bersih dan lapang dada. Akan tetapi, selama kita mau berusaha, bukan nggak mungkin hal tersebut begitu mudah kita terima dan kita lakukan serupa membalik teapang tangan itu tadi, sebesar apa pun kesalahanya.

Terlebih, jika kita selalu berpegang teguh dengan sabda Rasulullah berikut ini;

...Dan tidak meningkat orang yang suka memaafkan, kecuali kemuliaan. HR Muslim.

Maka sudah selayaknya kita membuka pintu maaf kepada orang lain atas apa yang telah mereka perbuat pada kita. Pun meminta maaf pada orang lain atas apa-apa yang telah kita perbuat pada mereka.

Janganlah kita menjadi seorang pembenci apalagi pendendam atas apa-apa yang telah mereka perbuat pada kita. Sebab, menjadi pembenci dan pendendam hanyalah sebuah kesia-siaan yang hanya mendatangkan kemadaratan—sehingga kita hanya jadi seorang yang merugi, baik dari segi waktu, energi, tenaga, pikiran maupun perasaan.

Kendati, bisa jadi, ada segelintir orang yang memang nggak suka dengan keberadaan kita—dan karenanya mereka akan berbuat apa pun terhadap kita supaya tergelincir, jatuh, marah serta terpancing. Sehingga fokus kita menjadi terbelah, buyar, dan hancur. Jika itu terjadi, maka mereka akan senang dan merayakan kemenagannya karena telah berhasil membuat kita hancur.

Akan tetapi, jika kita nggak mudah terpancing dan terprovokasi dengan hal-hal semacam itu, nisacaya kita akan mudah menghadapinya. Terlebih jika disikapi dengan kepala dingin. Nggak mudah terprovoaski dan terpanciing. Sebaliknya, jusru kita jadikan sebagai sebuah hiasan dan bumbu kehidupan, niscaya hal tersebut akan membuat kita semakin tangguh dan melangit.

Yang terpenitng kita fokus pada tujuan dan senantiasa menjadi pribadi yang pemaaf, bukan pembenci apalagi pendendam. Sebab, dalam alquran surat an-Nisa dengan benderang ditegaskan;

Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha pemaaf lagi Maha Kuasa—An-Nisa; 149.

So, berhentilah larut dalam kesedihan, kekecewaan dan kemarahan, namun hanyutlah ke dalam dermaga kebahagiaan dengan senantiasa menjadi pribadi yang pemaaf bagi orang-orang di sekitar kita, karena Allah saja Maha pemaaf, maka apakah pantas jika kita menjadi seorang pembenci?

SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment