Siapalah
gerangan yang nggak pernah merasa kesal, marah, jengkel, dan kecewa
pada seseorang—entah itu pada orang tua kita, saudara, teman,
guru-guru kita maupun sahabat kita sendiri?
Semua
kita, sangat niscaya mengalami hal tersebut. Lebih-lebih ketika
dikhianati, dibohongi, dan dikecewakan oleh orang-orang yang selama
ini selalu kita percayai. Otomatis perasaan marah, kesal, kecewa,
jengkel, sontak akan menjelma dalam diri kita, tanpa sadar, tanpa
diduga.
Namun,
apakah kekesalan, kekecewaan, kemarahan, dan juga kejengkelan itu
sedemikian akutnya hingga kemudian membuat kita begitu enggan untuk
menerima permohonan maaf atas segala khilaf dan salahnya secara
mentah-mentah itu karena kita telah kadung kecewa dan sakit hati,
misal.
Dalam
konteks kemanusiaan kita, memang itu merupakan hal yang wajar-wajar
saja sebenarnya.
Siapalah gerangan yang nggak sakit hati, kecewa,
sedih dan marah ketika kita dikhianati, dibohongi—semua kita
niscaya akan merasakannya. Sedih, kecewa, marah, kesal dan jengkel.
Lebih-lebih
jika hal itu dilakukan oleh orang-orang yang selama ini kita percaya.
Jika itu terjadi, niscaya kita akan sangat kecewa dan merasa sakit
hati yang luar biasa. Sakit bukan kepalang.
Bahkan
jika nggak mampu menahan emosi, kita akan sangat mudah menjadi murka,
marah, dan benci sebegitu hebatnya seolah-olah mereka semua penjahat
kelas kakap yang layak ditangkap, dimaki pula dijatuhi sanksi—dan
nggak ada sedikit pun hal-hal baik ada pribadinya sekalipun kita
sempat mengenalnya sebagai teman, sahabat, karib dan saudara yang
teramat baik bagi kita hanya karena kesalahan yang dilakukannya itu.
Padahal,
boleh jadi, kejadian itu merupakan balasan yang setimpal bagi kita
karena pada suatu masa tertentu kita pun pernah bersikap demikian
pada orang lain dan kita nggak pernah menyadari hal itu seolah-olah
kita memang makhluk yang paling baik dan nggak pernah berbuat salah,
sama sekali.
Imbasnya
kita enggan untuk berintrospeksi diri, bermuhasabah diri, dan
sekalinya hal yang kurang menyenangkan itu menyerang pribadi kita,
lantas sulit bagi kita untuk menerima kenyataan itu dengan lapang
dada hingga membuat kita menjadi seorang pembenci, seoang pendendam
bahkan yang enggan memberikan maaf atas kesalahan orang lain.
Andai
saja kita tahu bahwa menjadi pribadi pemaaf itu merupakan sebuah
kemuliaan, niscaya kita nggak bakalan pernah untuk menjadi seorang
pembenci apalagi sebagai pendendam.
Seberat
apa pun masalah dan kesalahannya, niscaya kita akan memakluminya
sebagai sebuah kesalahan yang manusiawi. Sebab kita sadar, bahwa kita
hanyalah manusia yang nggak pernah luput dari khilaf dan salah. Pun
nggak selamanya pula salah selayaknya setak dan nggak selayaknya
patuh dan taat selayaknya malaikat.
Memaafkan
kesalahan orang lain memang nggak semudah membalik telapak tangan.
Perlu hati yang tulus, ikhlas, bersih dan lapang dada. Akan tetapi,
selama kita mau berusaha, bukan nggak mungkin hal tersebut begitu
mudah kita terima dan kita lakukan serupa membalik teapang tangan itu
tadi, sebesar apa pun kesalahanya.
Terlebih,
jika kita selalu berpegang teguh dengan sabda Rasulullah berikut ini;
...Dan
tidak meningkat orang yang suka memaafkan, kecuali kemuliaan. HR
Muslim.
Maka
sudah selayaknya kita membuka pintu maaf kepada orang lain atas apa
yang telah mereka perbuat pada kita. Pun meminta maaf pada orang lain
atas apa-apa yang telah kita perbuat pada mereka.
Janganlah
kita menjadi seorang pembenci apalagi pendendam atas apa-apa yang
telah mereka perbuat pada kita. Sebab, menjadi pembenci dan pendendam
hanyalah sebuah kesia-siaan yang hanya mendatangkan
kemadaratan—sehingga kita hanya jadi seorang yang merugi, baik dari
segi waktu, energi, tenaga, pikiran maupun perasaan.
Kendati,
bisa jadi, ada segelintir orang yang memang nggak suka dengan
keberadaan kita—dan karenanya mereka akan berbuat apa pun terhadap
kita supaya tergelincir, jatuh, marah serta terpancing. Sehingga
fokus kita menjadi terbelah, buyar, dan hancur. Jika itu terjadi,
maka mereka akan senang dan merayakan kemenagannya karena telah
berhasil membuat kita hancur.
Akan
tetapi, jika kita nggak mudah terpancing dan terprovokasi dengan
hal-hal semacam itu, nisacaya kita akan mudah menghadapinya. Terlebih
jika disikapi dengan kepala dingin. Nggak mudah terprovoaski dan
terpanciing. Sebaliknya, jusru kita jadikan sebagai sebuah hiasan dan
bumbu kehidupan, niscaya hal tersebut akan membuat kita semakin
tangguh dan melangit.
Yang
terpenitng kita fokus pada tujuan dan senantiasa menjadi pribadi yang
pemaaf, bukan pembenci apalagi pendendam. Sebab, dalam alquran surat
an-Nisa dengan benderang ditegaskan;
Jika
kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan
sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha pemaaf
lagi Maha Kuasa—An-Nisa; 149.
So, berhentilah
larut dalam kesedihan, kekecewaan dan kemarahan, namun hanyutlah ke
dalam dermaga kebahagiaan dengan senantiasa menjadi pribadi yang
pemaaf bagi orang-orang di sekitar kita, karena Allah saja Maha
pemaaf, maka apakah pantas jika kita menjadi seorang pembenci?
0 comments:
Post a Comment