Romantika di Atas Awan
Judul
Buku : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Editor : Rosi L. Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Ketiga September, 2015
ISBN : 978-602-03-1892-9
Tebal : 344 halaman
Penulis : Ika Natassa
Editor : Rosi L. Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Ketiga September, 2015
ISBN : 978-602-03-1892-9
Tebal : 344 halaman
Sebagai orang awam yang notabene belum pernah naik pesawat pula
membaca karya-karya Ika Natassa, hal yang kali pertama saya ingat
dari novel bercover pesawat ini ialah istilah Critical Eleven yang
juga dipakai sebagai judul novel setebal 344 halaman ini.
Mulanya, saya menduga novel ini akan terasa membosankan dan
menjemukan. Istilah-istilah penerbangan—saya rasa akan jejal di
setiap helai novel ini—sehingga helai demi helainya tak ubah
seperti layaknya diktat bagi mahasiswa penerbangan yang otomatis akan
berbahasa baku dan kaku, ngajak mikir, dan membuat kepala berkerut
barang sebentar, lalu lelah kemudian—begitu dugaan saya kala itu.
Ternyata dugaan saya meleset. Sejak bagian pembuka, saya langsung
terkesima dengan gaya bertutur penulis dan narasinya yang lincah. Tak
terasa, bahwa helai demi helainya begitu saya nikmati hingga membuat
saya dengan tanpa sadar bahwa kisah-kisah di dalamnya telah tuntas
dibaca—dan berharap bahwa akan ada lanjutan ceritanya.
Seusai membacanya, saya memperoleh pengetahuan yang cukup tentang
apa itu sebenarnya Critical Eleven? Yang ternyata merupakan isitilah
dalam penerbangan yang menggambarkan waktu krusial atau kritis di
dalam pesawat dalam durasi sebelas menit– tiga menit setelah take
off–delapan menit sebelum landing karena secara statistik delapan
puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu
sebelas menit tersebut (halaman 16)
Itulah sebabnya mengapa saya menuliskan review atau resensi novel
ini dengan judul “Romantika di atas Awan”.
Novel bernarasi renyah dan gurih ini, secara tema, masih mengusung
tema-tema yang hampir sama dengan novel-novel lain pada
umumnya—sebutlah itu pernikahan—cinta—dan atau asmara. Hanya
saja, novel ini disajikan dengan cukup unik, dan menurut saya, Ika
Natassa telah begitu berhasil menyajikannya untuk keluar dari kata
biasa—out of the box—berbeda dengan novel-novel lain yang secara
tema sama.
Cerita di novel ini diawali dengan pertemuan seseorang yang bermama
Ale—seorang petroleum engineer di teluk Meksiko dan Anya—management
consultant, ketika keduanya sama-sama melakukan perjalanan ke Sydney.
Ale tengah asyik membaca buku ketika Anya tiba di sisi tempat
duduknya (halaman 7).
Mulanya, Anya berpikir akan kembali terjebak duduk bersama
om-om atau anak kecil yang menangis. Namun, perjalanan kali ini
tampak berbeda. Keduanya, Ale dan Anya, terlibat pada sebuah
obrolan-obrolan yang menyenangkan ketika di perjalanan tersebut
hingga pada akhirnya mereka saling berbagi nomor kontak.
Pertemuan unik dan tak disangka-sangka itu—dan merupakan pertemuan
biasa sebenarnya, mengantarkan keduanya, Ale dan Anya untuk menikah.
Padahal sebetulnya, setelah pertemuan itu mereka tidak saling
kontak. Baru sekembalinya Ale dari Teluk Meksiko, tujuh hari mereka
bertemu secara intens dan akhirnya memutuskan pacaran (halaman 23).
Dan, bisa jadi, itulah yang menginspirasi Ika Natassa, penulis novel
untuk mengangkat Critical Eleven sebagai judul novel yang akan
mengisahkan kisah asmara tokoh-tokohnya yang diwakili oleh Ale dan
Anya itu.
Critical Eleven, sebuah isitilah yang cukup giris dan tentu saja
akan membuat siapa saja was-was ketika mendengarnya, justru berhasil
didobrkak oleh Ika Natassa dengan menghadirkan kisah percintaan yang
cukup unik, menghibur, dan layak dinikmati.
Mulanya, pernikahan Ale dan Anya berjalan lancar. Keduanya menjadi
pasangan suami istri yang harmonis, saling melengkapi. Sayang,
setelah lima tahun berjalan, Ale dan Anya dihadapkan pada
sebuah tragedi yang tidak terduga. Tragedi yang membuat mereka harus
memikirkan ulang pernikahan mereka.
“Mungkin begini sewajarnya nasib sebuah pernikahan yang dimulai
dengan jatuh cinta dalam tujuh hari. Sewajar hujan yang membasahi
tanah. Sewajar api yang berasa panas. Dan mungkin, sewajar membenci
seseorang yang dulu pernah jadi alasan kita percaya cinta.”(halaman
27).
Secara keseluruhan, saya cukup menikmati setiap helai cerita ini.
Gaya bertutur Ika Natassa, dalam setiap narasinya, saya rasa akan
membuat siapa pun yang membacanya terbawa hanyut ke dalam cerita atau
kisah yang disajikan penulis. Selain itu, pemilihan alur, penokohan,
serta setting, saya kira telah berhasil dan cukup unik. Bagaimana,
sebetulnya, istilah yang menyeramkan dalam penerbangan, justru
dijadikan kisah percintaan yang tak biasa.
Saya rasa, siapa pun Anda, sangat layak untuk membaca dan memiliki
novel ini. Juga, bagi Anda yang menginginkan kisah percintaan di atas
awan layaknya Ale dan Anya, apa salahnya jika Anda mencoba
mempraktikannya dan atau paling tidak, membaca kisah keduanya dalam
karya besutan Ika Natassa tersebut.
Dan satu lagi, jika saja novel ini diangkat ke layar lebar, yang
konon memang akan difilm kan, tentu saja akan lebih menarik.
Berbentuk teks saja bayangan sudah tergambar, apalagi jika memang
berbentuk audio visual. Tentu itu akan lebih mengesankan.
Selamat menikamti!
Saya nulis resensi ini juga di JurnalSaya . Ika Natassa emang selalu asik.
ReplyDeleteOh begitu ya. Penggemar Ika Natassa juga berarti, ya.
DeleteAku masih belajar ngeresensi nih mbak. Resensinya masih begini-begini
aja. Belum bisa hebat.
O ya, makasih lho, ya udah mampir, mbak. Sering-sering mampir, ya. hehe :)
Kalau boleh tahu, apa jurnal mbak? Biar aku bisa belajar resensi dari
jurnal punya mbak.
aku penasaran yang antologi rasa
ReplyDeleteMbak Triya penggemar Ika pasti, ya.
ReplyDeleteAku baru kali ini baca karyanya--dan langsung terpikat. Oke semoga segera membaca antologi rasa kalau begitu.
tengkyu udah mampir. Sering sering ya.
Salam kenal. :)
Wah belum sempat-sempat baca buku ini. :)
ReplyDelete