Resensi: Cinta Masa Lalu dan Kenangan yang Membayanginya



Judul : Tentang Kamu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan : Kedua, Oktober 2016
Tebal : vi + 524 hlm
ISBN : 978-602-0822-34-1

Ada banyak ragam cerita yang dapat kisahkan di dunia ini. Entah itu kisah sedih, senang, bahagia, cinta, duka, lara, kesetiaan dan penghianatan—serta kisah-kisah lainnya yang kadang sukar untuk dijabarkan, diceritakan ulang pada orang-orang—musabab tak kuasa menceritakannya dan atau enggan untuk mengingatnya kembali kendati sebenarnya dia masih berdenyar dalam ingatan—yang kemudian menjadi sebuah kenangan yang selalu berhasil menggedor sisi terdalam kita sebagai manusia—senang atau sedih, bahagia maupun derita—bersama orang-orang yang berarti dalam kehidupan kita selama ini.

Adalah Tentang Kamu, sebuah novel yang digarap Tere Liye, salah satu novelis kawakan yang karya-karyanya selalu laku keras di pasaran dan berhasil mendapat di hampir semua kalangan, lintas generasi dan usia mencoba menghadirkan kisah-kisah itu dalam novel setebal 524 halaman teranyarnya.

Seperti yang kita tahu dalam karya-karya terdahulunya, semisal Hafalan Shalat Delisa, Hujan, maupun Pulang, Tere Liye telah begitu berhasil menghadirkan kisah-kisah kehidupan kita sehari-hari yang kadang dilupakan begitu saja dan atau dianggap tak berguna sehingga begitu enggan untuk mengingatnya sendiri atau menceritakannya pada orang-orang. Padahal, dengan cara mengingat itulah sebenarnya kita dapat memetik nilai sekaligus hikmah kehidupan yang dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi diri, muhasabah diri agar menjadi lebih baik lagi untuk ke depannya—baik laku lampah kita, ucapan kita, maupun pandangan dan tidak-tanduk kita.

Mengingat dan melupakan kenangan adalah dua pilihan yang maha berat. Keduanya selalu berdenyar beriringan. Semakin berupaya untuk melupakan, maka kenangan itu akan semakin kuat dalam ingatan dan sukar dilupakan. Apa pun itu kenangannya! Namun tak berlaku ketika kita mencoba mengingatnya. Toh, tanpa diingat pun dia akan bersemayam di kepala kita, di hati dan perasaan kita—senang atau sedih—duka maupun lara.

Novel ini berupaya menguak kisah sedih masa lalu, yang menyayat, menggebrak dan menggedor sanubari, sebuah kenangan yang selalu menjadi bayang-bayang semua kita—yang diwakili oleh tokoh-tokohnya.

Adalah Sri Ningsih, seseorang yang datang dengan masa lalunya yang sedih, getir, dan keras—yang dialami di masa kecilnya, dulu. Masa kecilnya yang getir dan keras itu tergambar dalam diary pribadinya yang melulu berbicara kesabaran dan kesabaran—kendati sebenarnya tak kuasa untuk menahannya.

Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apa pun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, tidak akan ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apa pun fisik seseorang, semiskin apa pun dia,  sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya. Tidak bisa (hal 48).

Diary tersebut ditemukan oleh pria bernama Zaman Zulkarnaen, seorang pengacara di Thompson & co. London yang ditugaskan untuk menyelesaikan kasus perkara pembagian harta kliennya.

Kasus ini menjadi menarik karena yang memiliki harta kekayaan satu miliar Poundsterling berbentuk saham itu—yang jika dirupiahkan bernilai fantastis hingga mencapai 19 Triliun Rupiah itu—ternyata belakangan diketahui bertempat tinggal di salah satu panti jompo yang ada di kota Paris.

Lebih dari itu, sang pengacara bernama Zaman itu harus sanggup untuk memecahkan misteri dan puzle tentang sesiapa sebenarnya yang punya dan menjadi calon pewarisanya. Thompson & co. London sebagai lembaga yang menaunginya hanya sekadar menerima informasi dari seorang klien berusia 70 tahun melalui sebuah pos.

“Jika terjadi sesuatu dengan nama yang tertulis di sana, Thompson & co. diberikan mandat untuk menyelesaikan harta warisan wanita tua ini seadil-adilnya  sesuai hukum yang berlaku.” (hal 13).

Hal yang tak kalah mengagetkan dan sedikit membuat Zaman dan Thompson & co. London tersedak ialah tatkala belakangan diketahui bahwa pemilik kekayaan bernilai Triliunan Rupiah itu bernama Sri Ningsih, asal Indonesia.

Babak baru pun dimulai. Zaman perlahan menelusuri kehidupan seseorang yang bernama Sri Ningsih itu. Zaman memulainya dengan mengunjungi sebuah panti jompo yang disinyalir merupakan tempat tinggal Sri.

Sayang, dari kabar dan info yang didapatinya dari panti jompo tersebut, bahwa ternyata Sri Ningsih telah meninggal dunia. Zaman pun tak menyerah begitu saja. Dia kemudian melanjutkan pencariannya dan berupaya keras untuk memecahkan misteri ini secara tuntas.

Selanjutnya dia berupaya untuk mendatangi Pulau Bungin—salah satu pulau tempat lahirnya Sri. Zaman pergi ke Pulau Bungin tersebut berdasarkan informasi yang diperoleh dari diary tipis milik Sri yang didapatkannya ketika mengunjungi panti jompo melalui tangan Aimée, pengelola sekaligus pengurus panti.

Diary tersebut menjadi satu-satunya petunjuk yang begitu berharga bagi Zaman. Sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam menyelesaikan teka-teki itu, Zaman tak mudah nyerah dan patah arang.

Puncaknya, selepas mengunjungi Pulau Bungin, dia kemudian melanjutkan perjalanan dan pencarian informasi hingga ke Surakarta, mengunjungi Madrash milik Kiai Ma'sum. Di tempat itulah Sri tinggal setelah belakangan diketahui bahwa tempat tinggalnya itu dilalap si jago merah dengan tanpa sisa termasuk di antaranya ibu tirinya. Akhirnya, dengan bantuan Guru Bajang, Sri dan Tilamuta—adiknya, dapat berjar di tempat itu.

Di tempat Kiai Ma'sum itu, akhirnya Sri mulai bersahabat dengan putri bungsu Kiai Ma'sum yang bernama Nur'aini. Tak hanya Nur'aini ada pula Sulastri. Dia adalah salah satu guru di madrasah tersebut yang sejak kecil tinggal dan dirawat oleh sang kiai. Persahabatan ketiganya terjalin dengan begitu hangat. Begitu kental. Penuh kekeluargaan. Ketiganya tak bisa dipisahkan—oleh ruang dan waktu, kemana pun selalu bersama.

Nahasnya, persahabatan itu tak berlangsung lama. Persahabatan-persahabatan yang begitu hangat itu seketika berubah drastis menjadi kebencian dan kedengkian. Kebencian dan kedengkian itu melahirkan suatu mala petaka yang sangat berbahaya bagi kehidupan Kiai Ma'sum dan keluarga. 

Puncaknya, Tilamuta, adik Sri ditemukan tewas dengan sangat mengenaskan karena suatu insiden yang tak dapat dijabarkan dan diceritakan. Hingga akhirnya, Sri pun mengalami pukulan, trauma dan kenangan yang sukar untuk dilupakan begitu saja. Dia menjadi bayangan kelam yang gelap—selaksa kabut tebal yang menutupi pandangan mata.

Rasa dengki telah menjadi kebencian luar biasa, yang bahkan bisa membuat pelakunya tega membabi-buta (191).

Setelah merasa cukup dengan informasi yang dia peroleh di Surakarta itu, akhirnya Zaman memutuskan untuk pergi ke Ibu Kota—Jakarta. Konon, di Jakarta itulah Sri memutuskan untuk memulai hidup baru dan menjalankan usahanya di sana—yang dimulainya dari titik nol lagi. Dia berupaya keras untuk mempertahankan hidupnya. Sekuat tenaga berupaya untuk bangkit dari keterpurukan dan melupakan bayangan kelamnya.

Saat kita sudah melakukan yang terbaik dan gagal apa lagi yang harus kita lakukan? Berapa kali kita harus mencoba hingga tahu bahwa kita telah tiba pada batas akhirnya? 2x, 5x, 10x, atau berpuluh-puluh kali hingga tak dapat menghitungnya lagi? Berapa kali kita harus menerima kenyataan, untuk tahu bahwa kita memang tidak berbakat, sesuatu itu bukan jalan hidup kita, lantas melangkah mundur? Dan pertanyaan terpenting sejatinya, bukan berapa kali kita gagal, melainkan berapa kali kita bangkit lagi, lagi dan lagi setelah gagal tersebut. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x (hal 210).

Dari hasil kerja kerasnya mempertahankan hidup dan upayanya untuk bangkit dari keterpurukan, akhirnya Sri dikenal sebagai seseorang yang pandai mengelola usaha. Dia pun mendulang sukses. Kaya raya.

Di tengah kesuksesan tersebut tiba-tiba terjadi keanehan yang luar biasa. Tanpa diduga, tanpa diterka, Sri memutuskan untuk hilang entah kemana dan yang tak kalah mencengangkan dia menjual seluruh aset kekayaan miliknya. Lalu dia memulai kehidupan baru di London, Inggris. Usut punya usut, pada titik inilah nampaknya Sri tengah mengukir sebuah kisah cinta yang tak biasa.

“Cinta memang tidak perlu ditemukan, cinta-lah yang akan menemukan kita.” (hal 408).

Seperti kasus yang sebelumnya, akhirnya Sri pun lagi-lagi kembali menghilang entah kemana. Tidak jelas apa yang dialami oleh Sri tersebut. Keputusan-keputusannya tak bisa ditebak, tak bisa diterka—dan kadang tak masuk akal. Puncaknya dia terdampar di panti jompo di kota Paris.

Sangat kompleks permasalahan hidup yang dialami oleh Sri. Jalan hidupnya penuh liku. Banyak teka-teki. Terdapat segudang misteri yang begitu sulit untuk dipecahkan. Keseluruhan teka-teki itu harus dipikul oleh seorang Zaman, pengacara sekaligus orang yang telah diberi mandat untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Belum juga usai permasalahan itu, di tengah perjalanan tetiba muncul masalah baru yang tak kalah runyam. Dia dihadapkan dengan kemunculan seseorang yang belakangan mendapuk diri sebagai ahli waris dari Sri, bernama Ningrum—dan mengaku anak dari Sri. Dan satu lagi, seseorang bernama Murni, dia mengaku telah menikah dengan Tilamuta. Padahal, seperti yang diketahui oleh Zaman, bahwa Tilamuta telah meninggal seperti hasil penyelidikannya. Dia mulai runyam. Kepalanya serasa pecah. Ditambah dengan kemunculan orang-orang baru itu.

Kendati Sri diceritakan telah meninggal, akan tetapi, melalui tokoh Zaman, dia dihidupkan kembali. Zaman berupaya keras menghidupkan kisah-kisah yang dialami oleh Sri lewat penyelidikan dan pembuktian-pembuktiannya dalam menguak tabir ini. Selain karena bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang pengacara, dia pun dituntut untuk menjaga mandat yang telah dibebankan padanya seperti yang dibacanya lewat pos, beberapa waktu lalu.

Melalui keberadaan Zaman itulah pembaca dapat merasakan keberadaan Sri kendati sebenarnya dia telah tiada. Penggambaran tokoh Sri yang sabar, kuat, pekerja keras, dan berperilaku aneh, berhasil disuguhkannya dengan begitu ciamik dan apik—seolah-olah dia jelmaan dari tokoh Sri.

Perlu waktu yang tenang bagi pembaca untuk menyantap hidangan kisah ini. Pelan-pelan dan jangan berupaya untuk menduga jalan ceritanya seperti apa—endingnya seperti apa, sebab itu akan sia-sia belaka. Apalagi tidak dibarengi dengan membacanya—dan atau hanya sekilas tanpa tuntas. Sebab, kisah-kisahnya unik, tak terduga, tak dapat diterka, tak dapat ditebak. Perlu pikiran yang jernih untuk menerjemahkannya. Sebab, kisah-kisah ini menawarkan nilai kehidupan yang kaya dan sarat makna. Cinta, kesetiaan, pengorbanan, masa lalu dan kenangan yang selalu membayangi kehidupan tersaji di dalamnya—tinggal bagaimana kita merenungi dan menyikapinya.

Jadilah seperti lilin, yang tidak pernah menyesal saat nyala api membakarmu. Jadilah seperti air yang mengalir dengan sabar. Jangan pernah takut memulai hal baru (hal 278).


Galilah makna-makna itu dalam kehidupan kita—selepas membaca dan menghayati kisah-kisahnya di setiap helai novel ini.

Ciamis, 23 Desember 2016
SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment