Jangan Bersedih





Jangan Bersedih

Sedih, kecewa, marah, duka, lara, jungkal bahkan tenggelam acapkali keinginan tidak tercapai, meleset, dan atau tidak sesuai harapan serta espektasi kita. 

Itulah gambaran semua kita ketika dihadapkan pada realitas yang bertolak belakang.

Ketika dihadapkan dengan kenyataan yang maha menyakitkan, secara bersamaan kita akan merasakan kesedihan dan kepedihan yang luar biasa—seumpama ditinggal pergi oleh orang-orang penting dalam kehidupan kita yang pergi meninggalkan kita selama-lamanya—sebutlah itu kematian, misal.

Atau ketika kehilangan pasangan hidup, partner, kekasih, teman maupun kerabat dekat kita yang memutuskan untuk pergi ke tempat nun jauh di sana—dan karena keterbatasan jarak dan waktu nggak memungkinkan mereka untuk selalu ada bersama kita—niscaya semua kita akan merasakan kehilangan. Lalu menjalar menjadi kesedihan, kepedihan, kemudian galau dan baper.

Ekspresi-ekspresi demikian akan sangat mudah kita perlihatkan, kita tampakkan, dan kita munculkan ke permukaan acapkali hal tersebut menimpa semua kita secara nggak terduga, sebelumnya.

Semuanya terjadi dengan begitu alamiah. Manusiawi dan normal belaka. Serupa kita gemar tertawa terbahak karena bahagia—dan di detik berikutnya menangis dengan begitu isaknya karena di dera kesedihan. Semuanya nggak bisa diterka. Nggak bisa ditebak.

Bisa jadi kini kita telah bahagia banget karena baru saja menikahi seorang gadis yang cantik dan sholehah, tetapi di detik beriktunya, gadis yang baru saja kita nikahi tersebut mengalami kecelakaan hingga menyebabkannya menjadi cacat tubuh, misal. Maka, sontak saja kebahagiaan itu akan sirna menjelma kesedihan—begitu pula sebaliknya.

Sayang, betapa kita gemar sekali hanyut dan sering menganggap bahwa kita akan bahagia selalu, setiap saat. Hingga kita terlena, bahwa nggak selamanya kita bahagia sebagaimana pula nggak selamanya kita bersedih. 

Akibatnya, ketika dihadapkan pada realitas berbeda pada titik yang kurang membahagiakan, maka kita selalu merasa menjadi mahkluk yang paling sedih, paling terpuruk, sial—dan apes sera nggak beruntung—lantas, dengan tanpa sadar kita pun berani menyalahkan takdir—dan berujung dengan gumaman yang nggak layak kita ucapkan semisal, Tuhan memang nggak adil banget bagi kita, misal.

Padahal jika menyadari bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini ada yang mengatur, niscaya kita nggak bakalan bersikap demikian, lebih-lebih menyalahkan takdir bahkan berkata bahwa Tuhan nggak adil, semestinya, seharusnya—dapat dihindari. 

Hanya saja semua kita memang nggak pernah sadar akan hal itu, terlebih ketika dalam kondisi yang dibalut emosional—yang tentu saja akan sangat sulit menerimanya sebagai sebuah keniscayaan hidup.

Inginnya selalu bahagia. Senang. Gembira. Segala pinta terlaksana, terwujud, dan terkabul tanpa tertunda apalagi gagal. Sekalinya tertunda, gagal, batal, dan ditimpa kehilangan, seketika kita jungkal, tenggelam, duka, lara—sedih-sesedih sedihnya—enggan menerimanya.

Jika saja semua kita mengerti akan ketetapan hukum Allah, bahwa segala hal selayaknya memang berpasang-pasangan, seumpama kesedihan dan kebahagiaan, hitam dan putih, panas dan hujan, datang dan pergi, Adam dan Hawa, maupun lelaki dan wanita—sangat niscaya kita nggak bakalan sedemikian sedih begini, sejungkal dan selara ini—semestinya, seharusnya.

Siang tak selamanya siang, sebab dia kan berganti dengan malam. Hujan tak selamanya hujan, sebab lama kelamaan kan reda juga bahkan cerah ceria. Begitu pula kesedihan dan kebahagiaan. Keduanya akan bergantian satu sama lain.

Tak selamanya kita ceria, bahagia, gembira, senang dan tertawa—kendati lazimnya kita menginginkannya selalu. Tak selamanya pula kita bersedih, sakit, duka, lara dan jungkal sebagiamana kita enggan menerimanya sebagai sebuah keniscayaan. Semuanya memang telah diatur. Nggak bisa disangkal, nggak bisa ditawar. Bergantian secara acak satu dengan lainnya. Tugas kita hanyalah menyikapinya dengan bijak.

Lantas, mengapa kita masih bersedih dan merasa bahwa musibah, kesedihan, kepedihan, sakit—dan hal yang nggak mengenakan lainnya merupakan sebuah kiamat yang bakal menyeret dan menggiring kita pada dermaga kehancuran, kehilangan, hingga kematian yang nggak memungkinkan kita bangkit dan malah membuat kita sedemikan terpuruk, begitu?

Selalu ada jalan untuk pulang. Begitu kata sebuah pepatah—dan itu berarti bahwa selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa, kejadian, serta segala hal di dunia ini. Bisa jadi, sedih kita kali ini adalah jalan menuju kebahagiaan selanjutnya, jalan kesuksesan, pintu keberhasilan dan kunci kesuksesan bagi kita—sebagaimana janji-Nya;

Tidaklah ditimpakan kepada seseorang yang memeluk agama Islam berupa penderitaan (keletihan), penyakit, kesusahan, kesedihan, dan gangguan serta kepedihan sampai-sampai duri yang tertusuk padanya melainkan itu adalah pembersih (penghapus) dosa-dosanya. HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

Jadi, masihkah kita ingin bersedih hati di saat kita yakin bahwa semua itu bernilai kebaikan dan merupakan penghapus dosa, lantas kita malah marah bahkan menyalahkannya?


SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment