MOTIVASI Risiko tidak Mengambil Risiko



Risiko tidak Mengambil Risiko

Setiap hal di dunia, rasanya tak satu pun hal yang tak mengandung risiko. Ya, dalam hal apa pun. Mau itu berbisnis, sekolah, pekerjaan, kuliah, deeste, deesbe. Ini sungguhlah keniscayaan. Tak dapat disangkal, pula tak dapat ditolak. Kendati bisa disiasati, sebenarnya.

Bagaimana cara mensiasati/menyiasatinya?

Pertanyaan itu mungkin akan muncul seketika di benak masing-masing kita. Satu-satunya cara yang mungkin dapat mensiasati risiko itu, tak lain dan tak bukan, ihwal dengan tak memilih risiko itu. Ya, tak memilihnya! Lebih tepatnya menghindarinya. Begitu!

Misalnya saja, ada orang yang hendak berbisnis. Nah, ketika dia memutuskan untuk menjalankan bisnisnya, maka dia akan berhadapan dengan beragam risiko. Ya, beragam. Banyak jenisnya, banyak rasanya. Nano-nano, bukan Nunu-nunu lho, ya :D. 

Ketika diperjalanan, risikonya bisa bangkrut, ditipu orang, gagal—dan atau, kalau lagi mujur, risikonya untung. Sukses besar bahkan. Ya, saya menyebutnya sebagai risiko pula.

Bagi kita yang telah kadung ketakutan dengan risiko-risiko itu, utamanya yang berkaitan dengan kegagalan, tentu perseketika itu pula kita enggan untuk memilih risiko itu—dan berusaha untuk menghindarinya—yang dalam hal ini berarti tidak berbuat apa-apa. Cari aman, tepatnya. Sebab, kita telah kadung termakan doktrin—dan lazim banget melihat kegagalan-kegagalan yang menimpa orang lain, lalu di kesempatan yang lain kita pun kerap menyaksikan kesuksesan-kesuksesan yang diraih oleh orang tanpa melihatnya secara utuh—dan hanya sepenggal saja, dari kaca mata kesuksesannya, bukan prosesnya—yang tentu saja akrab banget bersinggungan dengan beragam risiko itu tadi.

Tetapi, apakah dengan cara “cari aman” itu permasalahan selesai?

Saya kira tidak. Tidak selesai sampai di sini, kawan. Ya, tidak selesai begitu saja. Bagi kita misal, yang mulanya tertarik dengan “berbisnis” sebagaimana saya contohkan tadi, tetapi karena kita kadung dan takut mengambil risiko—dan di saat bersamaan, kita pun tengah menyaksikan orang yang seprofesi dengan kita berhasil serta meraih kesuksesan dengan sedemikian cemerlang lagi gemerlapnya itu, maka seketika itu kita akan merasakan sesal yang tiada tara. Sangat lara, bahkan. Iri dengan keberhasilannya!

Lalu tanpa sadar, kita akan berguman begini, “hanjakal baréto teu dituluykeun” selanjutnya kita pun akan menukas seperti ini, “meureun ayeuna bisa sukses siga kitu”. Tapi, iya, iya, saya mengerti, belum tentu juga kan jika kita memilih langkah itu berhasil atau sukses—bisa saja tetap gagal. Ya, saya setuju dan sependapat dengan itu kok!

Tetapi, marilah kita merenung sejenak, kawan. Jika beneran kita ingin meraih kesuksesan itu, maka tak ada cara lain yang lebih berharga ihwal dengan cara mengambil langkah dan tentu saja bersinggungan dengan risiko tentu saja. Ya, dengan memilihnya, bukan menghindarinya. Sebab, dengan berusaha memilihnya, kita akan/dapat merasakan kenyataan yang sebenarnya. 

Sukses atau gagal.
Dua hal itu berada di antara keduanya. Jika kita memilihnya!

Namun, jika enggan memilihnya dan mengabaikannya, tentu kita tidak akan pernah tahu dan merasakan kenyataan aslinya. Yang ada hanyalah dugaan, ratapan, ratapan, dan ratapan, bukan kenyataan.

Sialnya, itulah yang sering menimpa semua kita—khususnya saya yang memang pernah merasakannya. Yang sering merasakan penyesalan pada akhirnya.

Padahal, jika saja selalu berpedoman pada ayat suci Al-quran, tentu saja semua kita tidak akan pernah senestapa ini. Segalau ini. Tak ada keraguan apa pun di dalamnya.
Bukankah dalam al-Quran juga diterangkan dengan benderang dalam surat Ar-Radd ayat 11 yang berbunyi : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..

Secara jelas ayat ini menerangkan, bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum melainkan dengan mereka sendiri yang mengubahnya. Nah, itu berarti, harus ada aksi nyata dari setiap kita untuk menggapainya. Hasilnya? Ya, serahkan saja pada Allah swt, jika kita memang telah berusaha untuk meraihnya. Soal nanti hasilnya tak sesuai harapan, yakinlah itu yang terbaik buat kita. Yang penting ada usahanya lho. Mau apa tidak? Iya, seperti itu simpelnya. Iya, begitu!

Berat? Emang berart kok. Iya, berat. Tapi, apakah dengan hanya berkata berat itu permasalah selesai? Tentu saja tidak. Iya, tidak. Solusinya, ya usaha. Hanya itu solusinya! Itu keontji! Bukankah dalam surat Al-Baqarah ayat 286 pula dikatakan, bahwa, “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” Ya, sesuai kadar kemampuan kita!

Jadi, tunggu apa lagi?
***
Kini, saya sedang berusaha untuk menginsafi dan segera bertaubat, agar kejadian itu tak terulang lagi. Saya akan menghadapi setiap risiko. Ya, risiko apa pun itu! Apa pun risikonya, saya akan menghadapinya. Sebab, dengan tidak mengambil langkah dan enggan bersinggungan dengan risiko, justru sebenarnya kita tengah dihadapkan dengan risiko yang lebih berat sebenarnya—dan pada akhirnya sesalah yang tersisa.

Semangat!
Salam pembuktian!
^_^

Rajadesa-Sirnamulya, 28 Agustus 2016, 22.10 WIB.

#NB: Catatan ini sengaja dibuat dengan sudut pandang orang pertama 'saya ' bukan 'aku' sebagaimana saya gemar menuliskannya. Bukan apa-apa. Bukan pula gaya-gayaan sih, sebenarnya—atau pengin terkesan so “motivator” begitu. Sama sekali, bukan. Saya ingin merasakan apakah dengan menggunakan kata 'saya' itu enak ketika dibaca.

Masalahnya, saya kerap ngerasain nggak juga sih begitu membaca karya orang—utamanya fiksi, sudut pandangnya kok pakai kata 'saya'. Kesannya ndak enak. Sungguh ndak enak. Secara pribadi, jika saya membacanya—utamanya novel atau cerpen misal, lalu nemu kata saya dalam narasinya, kesannya kok nggak bisa ngerasain ya apa yang dirasain si tokoh atau alur ceritanya. Berasa ngambang. Hambar. Berasa baca teks pidato bupati, pak camat, dan pak gubernur.

Lalu, mengapa saya sekarang menggunakan kata “saya” itu? Lha, iya, ya, saya sedang mengambil risiko kan, ya judulnya juga. Jika kemudian nanti nggak enak, ya nanti-nanti, kalau posting lagi saya akan menggunakan kata: gue, ane, elo, ente, antum, akhi, ukhti, haaaaaaaa. pisss


SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment