Gara-gara Tiket KTP dan Kesalahan lainnya
Rasanya, cukup
ngilu jika harus mengingat kejadian itu. Kejadian yang cukup
mengesankan sekaligus mengenaskan, sebenarnya. Layak dikenang, tak
untuk diulang.
Tepatnya, dua tahun lalu, sehabis mengikuti sebuah
pelatihan menulis berskala nasional yang diadakan oleh salah satu
raksasa penerbitan buku nasional, yang karya-karya cukup
fenomenal–dan beberapa di antaranya telah diadopsi ke dalam film
layar lebar dari novel-novel yang diterbitkannya, di Yogyakarta,
penghujung 2014 lalu.
Ada banyak hal yang telah aku korbankan demi mengikuti
kegiatan ini. Tentu saja di luar waktu dan biaya. Biaya, bukan
seberapa bagiku. Karena, nyatanya, kegiatan ini fure gratis
tanpa dipungut biaya sepeser pun alias gratis. Tiga hari tiga malam.
Plus makan dan penginapan. Begitu tiba di sana langsung dijemput, tak
perlu khawatir. Tak usah risau. Apalagi galau. Plusnya lagi, begitu
pulang, dapat sertifikat dan buku 200 eksemplar.
Bayangkan saja olehmu,
tak kurang menarik apa pelatihan gratis semacam ini? Ilmu, sudah
pasti dapat. Pengalaman iya. Relasi sudah pasti. Jadi, nikmat manakah
yang kau dustakan? Alhamdulillah. Sesuatu. Hanya sekadar biaya
transport saja sih yang
mesti kukeluarkan. Dan itu mah wajar saja lah.
Masak iya sih
pengin gratisan mulu, kendati
iya memang begitu sih. Tapi, berkorban dikit tak apalah.
Bukankah cinta juga butuh proses dan pengorbanan? Iya,
nggak? Sembari senyum dan bertanya pada salah satu pembaca setiaku
ini. Iya, kamu. Kamu lho yang akhir-akhir ini selalu aku
pikirkan..hehe :D
Kendati tentu saja,
pelatihan tersebut harus melalui proses seleksi dan penyaringan oleh
para kurator sebelum terpilih betulan. Ya, itu sih mekanisme. Ya,
mekanisme. Dan untungnya, aku termasuk menjadi salah satu bagian dari
20 peserta yang berasal dari berbagai daerah se-nusantara yang maha
luas ini.
Sedikit informasi saja sih, kata
panitia, jumlah peserta yang daftar hampir 800. Sedangkan yang
diambil hanya 20 biji saja. Alhamdulillah banget aku menjadi bagian
yang 20 itu.
Salah satu pengorbanan
yang cukup menyita perhatian ialah aku memilih untuk meninggalkan
ujian akhir semester perkuliahan. Tepat di penghujung semester,
jelang nyusun skripsi.
Berat. Iya berat
memang. Tapi, aku memilih risiko yang berat itu. Selama aku
bertanggung jawab, ya mengapa tidak. Soal itu membebaniku, ya anggap
saja itu sebagai bentuk kosekuensinya. Berani berbuat, berani
bertanggung jawab. Berani mencintai, berarti berani menyayangi, bukan
melukai. *eaaaa
Aku korbankan ujian semesterku untuk pelatihan itu.
Namun, bukan berarti aku meninggalkannya begitu saja dan memilih
mundur. Bukan. Bukan sama sekali. Dugaan yang sangat meleset,
melenceng bahkan. Ya, aku tetap akan mengikuti ujian itu, sehabis
pelatihan.
Yang jadi masalah ialah
aku harus siap jika ujian sendirian. Tanpa teman. Sialnya, tak ada
teman untuk berdiskusi yang dalam hal ini tentu saja saling
berbagi–jawaban. Selain itu, mesti punya kekuatan ekstra untuk
kejar dosen kemana pun dia pergi. Minta soal ujian. Agar dapat nilai.
Whatever, pengorbanan!
Kejadian itu bermula ketika hendak pulang ke Ciamis. Aku
sengaja memilih pulang dengan buru-buru karena telah kadung berjanji
pada pihak kampus, bahwa aku izin hanya dua hari saja. Lagian aku
tengah ujian. Itulah yang menjadi alasan untuk segera pulang.
Ada kewajiban dan bentuk tanggung jawab di sana, yang
selalu kupegang. Itu prinspip, kata Mario Teguh. Dan aku selalu
berusaha untuk memegang prinsip itu dengan siapa pun. Termasuk dengan
kamu juga...
Acapkali bepergian, khususnya pergi ke Yogyakarta,
sekalipun jaraknya cukup jauh, aku selalu memilih mode transportasi
umum khususnya bis, bukan kereta. Kendati estimasi waktu yang
kutempuh tentu lebih lama dibanding naik kereta. Dua kali lipat. 10
jam untuk bis, dan sisanya 5 jam jika pakai kereta.
Kebayang kan betapa
cangkeul dan tépos-nya
bujurku jika pakai bis? Tapi, tak masalah. Santai saja, bro.
Aku memilih opsi pertama. Ada beberapa alasan yang
menyebabkanku memilih opsi pertama, salah satunya kenyamanan.
Bukankah faktor kenyamanan teramat penting dalam hidup ini? Cinta
juga butuh kenyamanan, bukan? *eaaa
Setidaknya, di dalam bis, aku punya waktu luang untuk
merenung, berpikir, dan juga istirahat. Tidur ketika diperjalanan
tepatnya. Selain itu, fasilitas dan pelayanannya pun cukup bagus.
Mobilnya bagus. Sopirnya oke, sopan dan santun, gak neko-neko, apalai
ugal-uagalan. Pelayanannya tepat waktu. Gak lelet apalagi ngetem.
Penumpang dapat fasilitas makan dan istirahat, utamanya sholat.
Alasan sederhana ini, tentu saja tidak untuk
mengenyampingkan kendaraan lain atau pun kereta. Tidak untuk
membanding-bandingkan. Ini hanya masalah kenyamanan aku pribadi saja.
Yang berarti pandangan subyektif saja berdasar pengalaman yang ada.
Sebab, faktanya, aku pun termasuk orang yang suka naik kereta.
Rasanya, oke banget. Cepat dan praktis!
Kembali ke cerita, ya.
Pagi itu, tepat pukul 09.00, dari tempat pelatihan aku
bergegas menuju terminal Giwangan, salah satu terminal terbesar yang
ada di Yogyakarta, kota pelajar itu. Menuju terminal, aku diantar
sopir operasioanl, mas Agus namanya. Dia bertugas untuk antar jemput
peserta, ketika sampai di Yogyakarta–dan hendak pulang dari
Yogyakarta.
Kurang lebih, setengah perjalanan menuju terminal besar
itu. Tepat setengah sepuluh, aku berada di sana.
“Jadwal mobilnya jam berapa, mas?” tanya mas Agus,
yang wajahnya mirip Kim Jong Un itu, presiden Korea Utara yang sangat
disegani dan ditakuti oleh sebagian besar pemimpin negara adidaya.
“Jam sembilan, mas...”
“Lho kenapa
nggak ngomong dari tadi..” mas Agus dengan sedikit terkaget,
menimpali jawabanku, tetap dengan raut muka yang makin mirip Kim Jong
Un.
“Tenang saja, mas.
Biasanya masih ada kok. Banyak.
Panjenengan gak usah khawatir. Jam 10 maksimalnya,” timpalku,
kendati sebenarnya tak yakin dengan ucapanku itu.
“Oh, begitu ya. Yo wis, mas. Ndak apa-apa kan kalau
ditinggal? Soalnya masih ada peserta yang harus diantar ke bandara.
Takut telat...”
“Gak apa-apa, mas. Santai wae. Masih ada lah. O ya,
terima kasih lho. Maaf ngerepotin.” kali ini aku berusaha
meyakinkan, sembari berjabat tangan tanda terima kasih.
Dia pun berlalu mengendarai mobil hitam itu,
meninggalkan termninal besar yang cukup megah ini.
Dua puluh menit
berlalu. Dan tak ada satu pun yang biasanya kutumpangi itu tampak.
Aku mencoba bersabar. Toh, baru
dua puluh menit ini, pikirku. Dua puluh menit berikutnya, mobil pun
tak kunjung ada. Aku mulai gelisah. Jangan-jangan memang sudah habis,
pikirku kemudian.
Untuk mengurangi kegelisahanku, aku mencoba mengelilingi
terminal besar ini. Ruang peruang. Dari satu sudut ke sudut lain.
Cukup megah, luas, besar dan ramai. Deretan kendaraan, antrian
penumpang. Para pedagang dan sederet keramaian lainnya tampak serta
terdengar begitu riuhnya.
Secara perlahan, perut mulai lapar. Untuk mengobatinya,
aku masuk ke salah satu warung yang ada di bagian dalam terminal ini.
Untuk sekadar duduk dan berisitirahat barang sebentar saja, sembari
membeli gorengan dan the hangat. Dan tak lupa, ikut mencharge HP,
karena batrainya perlahan habis. Hitung-hitung menunggu mobil. Kalau
pun nggak ada, ya pasrah saja lah.
“Mau kemana to,
mas?” tanya ibu pemilik warung yang tampak ramah itu
“Ke Ciamis, bu,” sahutku seraya memegang gorengan
“Walah... jauh juga ya.”
“Iya, bu.” aku menganggukan kepala, “O iya, bu,
kira-kira bis Budiman masih ada nggak ya?” sambungku lagi.
“Eumm..kurang tahu, mas. Tapi biasanya nyampe jam 9
perasaan. Kurang tahu juga jelasnya.”
“Begitu ya, bu.” Aku pun bergegas menuju PO Budiman
di sekitaran terminal –dan tak lupa menyodorkan uang jajan, 7 ribu
rupiah saja. Untuk pembelian empat gorengan, dua lontong, dan
secangkir the hangat.
Di depan PO Budiman, aku terdiam sesaat. Sesekali
menengok kekiri, sesekali lainnya menengok kekanan. Lengang. Cukup
lengang. Tak ada mobil Budiman, tak ada penumpang. Hanya tampak
pegawainya saja.
“Pak, maaf, untuk yang ke Ciamis masih ada?”
“Sudah habis. Tadi jam 9 terakhir.”
Aku diam, tak bergeming.”Oh begitu ya, pak.”
Aku pun bergegas meninggalkan PO Budiman itu dengan raut
kecewa. Aku tak jadi pulang hari ini. Tak ikut ujian esok pagi. Dan
hal-hal tak terduga lainnya.
Sembari menenangkan diri, kendati tentu saja tak tenang
aslinya. Aku berupaya mencari cara untuk bisa pulang hari itu juga.
Ya, hari itu juga!
Dalam posisi seperti itu, aku teringat bahwa masih ada
kereta yang mungkin bisa mengantarkanku pulang ke Ciamis. Ya, hanya
itu! Jika ada selain itu, aku takkan memilihnya.
Aku telah kadung menjadi penikmat setia bis Budiman. Aku
kadung nyaman. Jika pun ada, tetap saja pelayanannya cukup
mengecewakan. Hal ini berarti, bahwa aku tipikal orang yang setia.
*eaaaa.
Pasalnya, pernah suatu
waktu, mencoba bis lain selain Budiman. Begitu diperjalanan aku
dilempar ke sana-kemari. Di dalamnya cukup panas. Mobilnya seenaknya
saja berhenti. Turun naikan penumpang di jalan. Sudah begitu,
penumpang bebas merokok. Sehingga tentu saja mengganggu kenyamanan
penumpang yang bukan perokok, ibu-ibu—terutama ibu-ibu hamil, dan
pula aku yang kebetulan bukan perokok, tapi pernah merokok untuk
sekadar coba-coba–dulu sekali, dan nggak enak menurutku. Rasanya
cukup tersiksa euy!
Hal itulah yang
membuatku enggan berpindah ke kendaraan lain, tak terkecuali kereta.
Bis yang menjadi langgananku itu begitu on time, tepat
waktu. Tak peduli penumpangnya ada berapa. Dia akan tetap melaju.
Bahkan pernah suatu waktu, penumpangnya hanya 8 orang saja, sedangkan
kapasitasnya mencapai 40 orang. Tetapi bis ini tetap berangkat.
Otomatis di dalam mobil
cukup lengang. Sangat kosong. Begitu leluasa. Hal itu tentu saja
membuatku bebas pundah-pindah korsi.
Aku mencoba mencari
informasi di internet tentang pemesanan tiket kereta secara online.
Barangkali saja untuk hari ini
masih ada tiket yang tersisa, yang masih kosong–atau ada penumpang
yang membatalkan keberangkatannya. Dengan begitu, dia dapat diganti.
Dan ini kesempatan emas.
Setelah kucari-cari, tak ada yang kosong juga. Semuanya
penuh. Selang beberapa menit, karena penasaran, kucari lagi dengan
begitu semangat. Dan, alhamdulillah, di pencarian ketiga, ada satu
tiket yang tersedia. Hal ini, berarti, apa pun yang kita perjuangkan,
percayalah dia akan membuahkan hasil, begitu kata pepatah. Dan itu
yang aku alami.
Ada harapan bahwa hari ini aku akan pulang. Ya, aku
pulang!
Akhirnya kuputuskan untuk sesegera mungkin menuju
stasiun Lempuyangan . Takut-takut jika telat sedikit saja, tiket itu
sudah ada yang nyerobot duluan. Untungnya, di area Giwangan ini,
banyak tukang ojek resmi yang ditugaskan oleh Pemkot Yogyakarta dan
Keraton. Sehingga aku tak kesulitan untuk menuju ke stasiun
Lempuyangan yang jaraknya cukup lumayan jauh itu.
Aku sendiri cukup kerepotan ketika menuju ke sana.
Barang bawaanku cukup banyak dan berat. Apalagi dengan dus yang
isinya buku. Kira-kira bobotnya sampai 60 kg-an. Dus itu kuletakan di
tengah. Persis di atas pahaku. Takut basah dan menjadi mubah. Karena
pada waktu itu, hujan perlahan turun. Untungnya aku segera tiba di
stasiun, sehingga tidak terlalu kuyup.
Begitu memasuki gerbang stasiun ini, lalu lalang orang
cukup riuh. Hilir mudik ke sana ke mari. Sangat ramai. Begitu sibuk
dan berisik. Antrian tiket cukup panjang.
Akhirnya, tiba giliranku, setelah berdesak-desakan
dengan susah lagi payahnya. Sangat takut kalau tiket itu habis lagi.
Entar yang ada aku kecewa lagi.
“Mau hendak kemana?” tanya petugas itu.
“Ciamis, Bu. Masih ada kan?”
“Bentar ya dicek dulu...,”
Aku mengangguk.
“Ada, pak. Masih ada. Nanti jam 2 siang berangkatnya.
Gimana jadi pesan kan?”
“Alhamdulillah, jadi, bu. Jadi...,” timpalku dengan
begitu bahagia, seraya mengucap syukur.
“Coba lihat KTP-nya, pak?”
OMG! Aku membeku seketika. Aku baru sadar, bahwa, aku
tak punya KTP hari itu. Jangankan untuk KTP, bahkan untuk kartu
mahasiswa berikut kartu perpus saja tak punya. Semuanya raib tak
tersisa, seminggu sebelum berangkat ke Yogyakarta, ketika shalat
Ashar di sebuah mesjid di sekitaran lapangan futsal GR, Ciamis sana.
Berikut uang SPP semesteran, kumpulan hadits, dua botol madu, dan
dokumen-dokumen penting lainnya.
Untungnya, aku masih punya copyannya. Jadi masih bisa
digunakan untuk jaga-jaga.
Sial!
Benar kata bang Napi,
kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya,
tetapi karena kesempatan. Sialnya, kesempatan itu dimanfaatkan di
tempat ibadah.
Apa jangan-jangan biar terkesan maling syar'i-ya?
“Kebetulan saya tak punya KTP, bu. Yang asli
maksudnya. Adanya cuma foto copyannya saja. Seminggu lalu baru
kehilangan, bu. Jadi belum sempat bikin lagi. Kalau surat keterangan
hilanga dari polisi ada, bu...,” ungkapku lebar menjelaskan.
“Coba lihat...,”
“Ini, bu.”
“Nggak apa-apa. Bisa. 100 ribu totalnya.”
Sykurlah. Alhamdulillah.
“Nanti pukul 2 jadwalnya, pak. Jangan telat,”
katanya kemudian.
Aku mengangguk sambil tersenyum berlalu meninggalkan
loket itu.
Sehabis mendapat tiket, mungpung ada waktu, aku
berjalan mencari toilet juga mushola untuk sholat dan beristirahat
sejenak. Hitung-hitung menunggu kereta. Lagian masih lumayan lama
datangnya, pikirku.
Setengah dua, aku kembali ke area loket, tepatnya pintu
gerbang lokasi menunggu kereta. Karena pihak kereta memberikan
informasi, katanya, para penumpang setengah jam sebelum kereta datang
harus segera ke sana.
Antrian pun kembali memangjang. Kali ini cukup tertib.
Ada tiga petugas keamanan yang berjaga di sana. Mukanya tampak
sangar. Badannya kekar. Dan posturnya cukup tinggi.
Para penumpang satu
persatu dimintai menunjukan tiket dan kartu identitasnya. Dicek
dengan begitu teliti dan detailnya. Tak
ada yang terlewat. Sejauh ini, tampak tak ada masalah. Baik-baik
saja.
Namun begitu tiba giliranku, petugas yang perawakannya
agak gemuk itu, menanyakan tiket. Dan bermula dari sana, masalah itu
perlahan tiba juga. Sialnya menimpa diriku.
“Selamat siang, Pak. Bisa ditunjukan tiketnya?”
pinta petugas itu.
“Ya, bisa, Pak.” kusodorkan tiketnya dengan begitu
mantapnya, tanpa kendala apa pun.
Selang satu menit, petugas itu pun kembali bertanya,
“Ada KTP-nya? Bisa saya lihat?”
Kali ini aku diam, beberapa jenak. Sebelum akhirnya
kurogoh tasku. Ada satu foto copyan KTP yang kukeluarkan. Agak
sedikit lepet, memang. Tapi, ya itulah yang ada saat itu.
Satu-satunya peninggalan identitas setelah kecolongan di mesjid.
Dengan sedikit ragu, kusodorkan foto copyan itu dengan
memasang wajah yang ramah.
Petugas itu diam. Tak menyahut. Dia mengamati foto
copyan KTP ku dengan begitu dingin, “yang aslinya, pak.” pintanya
dengan nada yang datar-datar saja.
“Mana yang aslinya, pak? Buruan?!” sergah petugas
yang lain, yang berdiri di sampingnya itu. Dia tampak kurusan dikit.
Aku masih diam, tak menyahut juga. Mencari alasan yang
tepat.
“Begini, pak. Minggu lalu saya habis kecolongan, jadi
KTP asli saya tak ada ikut hilang juga, pak. Sekarang masih proses
pembuatan,” kataku menjelskan perlahan.
“Kita butuh yang asli, pak! Bukan foto copyan!” kali
ini petugas itu sedikit tegas, suaranya perlahan meninggi.
Aku tersedak mendengar ucapan petugas itu, sedikit
kaget. “Begini, pak. Minggu lalu saya habis kecolongan, jadi KTP
asli saya tak ada ikut hilang juga, pak. Sekarang masih proses
pembuatan. Kalau bapak nggak percaya, saya bawa juga keterangan
hilangnya dari kepolisian. Barangkali bisa dimaklumi, pak...,” kali
ini aku mengulangi jawaban dengan sedikit tambahan dan nada memohon
kebijakan.
“Identitas yang lain. Selain KTP. Asal yang asli!
Ada?”
“Tadi sudah saya jelaskan, pak. Minggu lalu saya kena
musibah. Dan salah satunya identitas asli saya raib semua. Tak
tersisa. Yang ada ya cuma itu. Coba bapak lihat, foto itu kan foto
saya, pak. Asli. Saya mohon kebijakan dari bapak. Saya sudah kadung
berjanji untuk pulang hari ini. Besok saya ujian di kampus. Mohon
kebijakannya...” kali ini aku memohon dengan wajah yang sangat
memelas, sangat pasrah.
“Asli dari mana?! Ini foto copyan!!!” kali ini
petugas yang tampak gempal itu tampak tak sabaran, sangat kesal. Dia
menggebrak meja dengan begitu kasarnya. Foto copy KTP yang
dipegangnya, dia lempar ke meja. Matanya melotot. Wajahnya memerah.
Dia betulan marah. Kesal dengan jawaban-jabawan dariku.
Padahal, sebetulnya, aku bicara baik-baik. Dengan nada
yang merendah pula. Kendati mungkin saja aku yang salah, yang tetap
ngeyel ingin pulang dan lolos dari penjagaan petugas itu.
Toh, aku juga
pakai tiket, bukan ilegal, apalagi nerobos. Apa salah jika
memperjuangkan hak? Enggak salah bukan? Bukankah di negeri ini orang
yang sudah jelas-jelas koruptor saja bebas membela dirinya bahkan
dengan puluhan pengacara sekali pun sebagai pembelanya?
Aku sedikit terpancing kali ini. Emosiku perlahan
meninggi. Mulutku seakan meledak begitu saja memuntahkan kata-kata.
Hanya saja berusaha sekuat tenaga untuk kutahan. Agar tidak menjadi
masalah yang serius.
Antrian tiket sedikit gaduh. Orang-orang terlihat
tegang. Kaget dengan gebrakan meja dan bentakan petugas keamanan yang
meninggi. Mereka menatap ke arah kami.
“Saya bicara baik-baik, pak. Datang baik-baik pula.
Beli tiket iya. Saya harus pulang ke Ciamis. Besok ujian. Lagian pak,
tadi saya beli tiket ini pake foto copya nggak apa-apa. Tapi kenapa
sekarang jadi masalah? Sekali lagi saya mohon kebijakannya...,”
“Sekali nggak bisa. Tetap nggak bisa! Ini aturan.
Aturannya pake identitas asli, ya pake identitas asli. Bukan foto
copyan!” timpalnya, begitu keras, begitu tegas.
Aku diam tak menyahut. Kubiarkan dia membentak. Aku
pasrah kali ini. Mungkin aku memang tak diizinkan pulang untuk hari
ini, barangkali. Hanya saja perlakuan petugas-petugas itu dirasa
cukup berlebihan. Ada cara yang lebih baik tentu saja untuk
mengkomunikasikan hal ini. Berdialog dengan tenang, bukan tegang.
Melihat dari banyak sisi, bukan hanya satu sudut pandang saja.
Salah satu pucuk pimpinan petugas stasiun itu mendengar
keributan itu. Dia pun bergegas ke arah kami, “Ada apa ini
ribut-ribut?” tanyanya penasaran.
“Ini, pak. Penumpang tak bawa KTP. Tapi ngeyel ingin
berangkat juga. Padahal sudah dicegah.”
Pimpinan petugas itu menatapku. Tajam. “iya seperti
itu? Ya sudah, silakkan hubungi CS. Jangan halangi penumpang lain.
Barang bawaannya kepinggirkan!” tegasnya.
Tanpa basa-basi, aku pun bergegas ke ruangan CS dengan
diselimuti perasaan kecewa sekaligus tak kuasa menahan marah.
“Ada yang bisa dibantu, pak?” tanya salah satu
petugas CS, dia tampak begitu muda.
“Saya tak bisa pulang hanya karena nggak ada KTP.
Padahal telah saya jelaskan masalahnya. Tapi, tetap tak bisa.”
“Itu udah tepat, pak. Memang aturannya seperti itu.”
“Masalahnya kan besok saya ujian, bu. Jadi saya harus
pulang hari ini juga. Barangkali ada kebijakan yang bisa saya terima
dengan baik, bu...,”
“Nah, dari kami, ya itu kebijakannya, pak. Kami hanya
menjalankan aturan. Jika meloloskan bapak, nanti kami juga bakal kena
teguran dari atasan,” katanya, lebar.
“Tapi gak bisa begitu juga kan, bu. Masalahnya tadi
begiitu saya beli tiket, kok dikasih. Padahal kan pakai foto copy
KTP. Kenapa gak dijelasin di sana? Jangan kok malah dikasih tahunya
begitu mau berangkat. Lha, ya, jelas saya yang rugi dong, bu? Ini
yang membuat saya tak bisa terima...,”
“Pak, mohon maaf. Sekali lagi mohon maaf. Ini
kebijakan baru. Kalau bulan lalu emang sedikit longgar. Untuk
sekarang, tengah ditingkatkan lagi keamanannya. Apalagi ini kan
jelang tahun baru—dan masih suasana libur panjang. Takut terjadi
apa-apa. Terlebih lagi musim teroris,” petugas CS itu menjelaskan
dengan rinci.
Kali ini aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Diam.
Hanya diam mendengar kata-katanya barusan.”Baiklah, bu. Jadi tetap
ya, saya tak bisa berangkat? Kalau begitu apa dong timbal balik buat
saya? Ini kan bukan sepenuhnya kesalahan saya. Kalau saya tak bisa
berangkat, berarti uang pembelian tiketnya bisa ditarik kembali 'kan?
Seperti yang tertera di papan informasi itu?” tunjukku.
“Mohon maaf sekali bapak. Tiket ini udah lebih dari
setengah jam. Jadi gak bisa ditukar dan ditarik kembali uangnya.
Kalau misalkan tadi masih bisa, pak.”
Aku pun melongo mendengar kata-kata itu. Uangku hangus
begitu saja. Tiketku tak bisa digunakan. Uangku tak dikembalikan. Aku
pun batal pulang sepertinya. Seketika, aku pun bergegas meninggalkan
ruang CS dengan raut yang sangat kecewa. Sangat-sangat kecewa.
Rencana pulang hari ini benar-benar buyar. Ujian esok
pagi batal. Dan pada posisi seperti itu, aku merasa remuk redam, tak
kuasa menahan kecewa. Hujan yang tak kunjung reda, seakan menebalkan
rasa kecewaku hari itu.
Hati risau
Pikiran kacau
Jadi galau
Kacau balau
Sederet barang bawaan. Sekardus buku. Dan setumpuk
kekecewaan menyatu bersama aliran hujan yang tak kunjung reda. Ya,
sudah, aku akan balik lagi ke terminal–dan menitipkan setangkup
tubuhku di sana.
Aku yang kadung kecewa, segera menghubungi dekan ihwal
izinku yang diperpanjang—karena tak bisa pulang hari ini.
Untungnya, aku sangat akrab dengan pucuk pimpinan kampus. Hampir
seluruh dosen-dosen yang ada di kampusku, aku mengenalinya—dan
sebagian besarnya sangat akrab bahkan. Jadi, jika ada hal yang dirasa
sulit, aku dapat memecahkannya.
Hanya saja aku kecewa dengan kejadian itu. Kejadian yang
cukup menyedihkan memang. Berada di perantauan. Terombang-ambing
layaknya kapal yang diterjang ombak, namun tak kunjung sampai ke
tepian. Risikonya jatuh atau tenggelam, sangatlah besar. Dan aku
berada di antara keduanya.
Sekali lagi, kejadian
ini layak untuk dikenang, namun tidak untuk diulang. Cukup jadikan
pengalaman berharga. Pepatah lama mengatakan, an experience
is the best teacher, ya seperti
itulah hidup! Belajar dari pengalaman, biar begitu, dia adalah guru
yang teramat baik, bagi kita–di masa mendatang.
Dan, dalam sebuah kesempatan, jika aku mengingat
kejadian itu, aku sempat berpikir bahwa andai saja aku tidak sedang
merantau–dan kejadian itu berada di kotaku sendiri, niscaya akan
kurobek tiket itu tepat di hadapan petugas itu!
Ya, akan kulakukan.
Apa pun risikonya. Itu yang terbesit di otakku jika mengingat
kejadian tersebut. Saking kesal dan kecewanya aku dengan perlakuan
model begitu.
Akan tetapi, aku
teringat dengan pribahasa ini—dan aku mengiyakannya, bahwa di
mana bumi dipijak, di situ langit mesti dijunjung.
Itulah yang aku gunakan. Aku segera insyaf serta sadar bahwa aku
tengah di Yogyakarta bukan Ciamis, apalagi Rajadesa.
Untung saja, sisi kemanusiaanku—dan rasa sabarku,
sepertinya tengah berpihak padaku. Kendati kenyataannya memang telah
terpancing, tapi untungnya masih bisa tertahan.
Yogyakarta-Ciamis-Rajadesa, Stasiun
Lempuyangan-Terminal Giwangan, 2014-2015.
I Like it !
ReplyDeleteFurniture Rotan Sintetis