Mengenal Dunia Dengan Aksara
8 September ditetapkan sebagai Hari Aksara Internasional (HAI) oleh
UNESCO (United Nations Eduactional, Scientific and Cultural
Organization) yang diproklamirkan dalam konferensi tingkat tinggi PBB
di Teheran, Iran, 17 Nopember 1965 silam. Adapun tujuan
diperingatinya Hari Aksara Internasional ini dimaksudkan untuk;
memberantas buta aksara dan memperingatkan keaksaraan bagi peradaban
masyarakat di seluruh dunia.
Saya kira, inilah momen bagi
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas sekaligus
menyadarkan masyarakat Indonesia untuk memperbaiki aksara (ragam
tulis, bahasa, dan baca) yang masih rendah.
Dari data yang dikeluarkan UNESCO pada tahun 2013 lalu, jumlah
penduduk buta aksara di Indonesia masih sangat tinggi yang tersebar
di 11 provinsi. Beberapa provinsi tersebut di antaranya, yakni : (1)
Papua, 30, 93 persen atau 615.977 jiwa; (2) Nusa Tenggara Barat 10,92
persen atau 314.435 jiwa; (3) Sulawesi Barat 7,96 atau 60.164 jiwa;
(4) Sulawesi Selatan 7,37 persen atau 381.329 jiwa; (5) Nusa
Tenggara Timur 7,21 persen atau 203.002 jiwa; (6) Jawa Timur 3,92
persen atau 1.481.646 jiwa; (7) Kalimantan Barat 5,76 persen atau
170.038 jiwa; (8) Bali 5,33 persen atau 140.628 jiwa; (9) Papua Barat
4,92 persen atau 26.280 jiwa; (10) Sulawesi Tenggara 4,60 persen atau
65.924 jiwa, serta (11) Jawa Tengah 4,54 persen atau 960.905 jiwa.
Data tersebut, membuktikan kepada kita, bahwa penduduk buta aksara
di Indonesia memang cukup tinggi. Permasalahan ini tentu menjadi
pekerjaan rumah yang harus teratasi dan segera diselesaikan. Suatu
kenyataan yang teramat memilukan ini mencerminkan kurangnya
pengetahuan aksara masyarakat Indonesia, begitu mudah kita saksikan
di kehidupan nyata sehari-hari di tengah gempuran zaman yang tak
terhindarkan itu. Permasalahan yang terjadi begitu kompleks dan
merata. Lingkupnya meliputi berbagai ranah dan sulit untuk menemukan
penyelesaiannya.
Contoh sederhananya dalam hal buta aksara, misal, katakanlah si A
namanya, suatu hari rumahnya terkena ultimatum tentang tenggat waktu
bahwa rumahnya akan digusur oleh pemerintah karena tanahnya milik
negara, dan ketika jatuh tempo, si A tersebut malah tenang-tenang
saja disaat tetangga lainnya telah berkemas dan mengetahui bahwa di
hari tersebut rumahnya akan dieksekusi, yang tidak ada tawar-tawar
lagi karena sebelumnya telah dikasih informasi. Begitu rumahnya
hendak dieksekusi, si A tersebut kemudian kaget, marah dan jengkel.
Dia marah besar. Lebih dari itu, dia juga kemudian menghardik petugas
sedemikian kerasnya, lalu menganggapnya tidak berperikemanusiaan sama
sekali, terlebih dia tidak dikasih tahu sebelumnya, misal. Padahal,
informasi tersebut telah tertempel di papan pengumuman. Hanya saja
karena dia buta aksara, sehingga informasi yang telah tertera itu dia
abaikan begitu saja. Seolah kertas biasa akibat ketidaktahuannya akan
akasara.
Tentu saja akan sangat disayangkan jika kejadian tersebut
benar-benar nyata di kehidupan kita. Mau dibawa kemana nasib bangsa
Indonesia, jika warga masyarakatnya tidak mengenal aksara.
Permasalahan ini tentu saja bukan hanya tanggungjawab pemerintah di
satu sisi, di sisi lain juga tanggungjawab manusia-manusianya itu
sendiri. Pemerintah dan masyarat harus saling bersinergi satu sama
lain. Pemerintah harus menyediakan dan meningkatkan kualitas serta
sarana yang mampu membuat masyarakatnya tertarik untuk mempelajari
aksara, pun masyarakanya harus lebih giat lagi untuk mengenali
aksaranya. Sehingga kedepannya tidak ada lagi masyarakat yang buta
aksara.
Bahkan dalam Firman Allah swt. dalam surat al-Alaq ayat 1-5 yang
berbunyi : “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta, yang telah
menciptakan manusia dari ‘alaq’, bacalah dan Tuhanmu Mahamulia,
yang mengajar manusia dengan pena, yang mengajar manusia apa yang
belum diketahui (manusia)” Adalah perintah membaca yang
komprehensif: membaca dan menelaah semesta dan membaca dan menelaah
diri; membaca dan menelaah yang telah tertulis dan membaca dan
menelaah yang tidak tertulis.
Oleh karena Allah mengajari manusia dengan pena, itu berarti
perintah yang komperhensif juga untuk membaca (tulisan) dan menulis
(tulisan). Mengajari manusia dengan pena adalah mengajari menulis.
Perintah membaca disertai pula perintah untuk menulis. Objek
menulisnya juga sama dengan objek membaca: alam semesta, diri
sendiri, yang sudah dituliskan, maupun yang belum dituliskan.
Perintah itu juga perintah aktif-produktif menghasilkan tulisan,
bukan hanya perintah aktif-reseptif membaca. Jika hanya dimaknai
perintah membaca tulisan, pemaknaan itu terlalu sempit, yakni umat
Islam hanya diperintah mengkonsumsi bacaan (orang lain).
Berbahasa
Santun
Dari
uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwasannya peradaban yang
telah maju adalah peradaban yang bukan hanya mampu beraksara, akan
tetapi dapat memanfaatkan aksara sebagai karya dan alat untuk
menyampaikan sebuah ide atau gagasan. Seperti peradaban Arab dengan
seni kaligrafinya, ilmuwan-ilmuwannya dengan segudang penemuan yang
sampai sekarang menjadi rujukan orang-orang Barat.
Aramea yang melambungkan nama Mesopotamia (sekarang: Syria) dengan
gubahan syairnya, Brahmi yang berkembang pada masa India kuno,
Dewanagari yang tumbuh pada abad 7-9M, hingga kini masih digunakan di
Nepal dan Bangladesh, Hieroglif yang dipakai oleh pendeta Mesir kuno
yang bersifat ideografis, Pallawa di India Selatan yang dapat terbang
sampai ke Indonesia, Yunani kuno dengan segudang ilmuwan dan
pemikirnya, merupakan bukti real dari kesuksesan suatu bangsa
mengembangkan peradaban keberaksaraannya.
Untuk itu, mari kita mulai dengan hal kecil seperti mengajarkan
putera-puteri kita dengan bahasa yang baik dan benar. Dari mulai
mengeja hingga bercakap. Berargumen secara santun, bertutur kata
lembut, dan berbahasa secara benar. Ajarkan anak cucu kita untuk
menyampaikan sebuah gagasan menggunakan bahasa lisan dan tulisan.
Begitulah cara orang-orang berperadaban hebat dalam menggunakan dan
melestarikan keaksaraan mereka.
Jika bangsa Indonesia mempelajari dan menerapkan teori serta
mengejawantahkan keaksaraan peradaban terkemuka di atas dalam
kehidupan sehari-hari, maka tidak mustahil keaksaraan Indonesia dapat
mendunia.
*Dimuat di Harian Umum Kabar Priangan
Ciamis, 07 September 2015
0 comments:
Post a Comment