Mudik dalam Kosmologi Sunda
Acapkali datang bulan suci Ramadhan, umat manusia selalu disibukan
dengan berbagai hiruk pikuk kegiatan. Mulai dari mempersiapkan menu
berbuka puasa, menu sahur, hingga menu lebaran, termasuk jenis
pakaian yang hendak dipakai di hari Raya Idulfitri.
Salah satu hiruk pikuk yang telah menjadi tradisi tahunan itu adalah
mudik, pulang ke kampung halaman, khususnya bagi mereka yang telah
menghabiskan waktunya di perantauan. Entah sebagai pekerja, atau
seorang pelajar, dan berbagai profesi lainnya.
Kampung halaman adalah sepetak tanah awal mula manusia terlahir ke
ruang nyata. Tak bisa dipungkiri, bila sejatinya sepetak tanah yang
dihinggapi manusia untuk pertama kalinya itu adalah jejak sejarah
paling agung dalam mengawali perjalanan hidupnya.
Di kampung halaman itulah manusia mengalami sejarah: entah sebagai
pemenang ataupun yang menderita kekalahan. Andai saja manusia teguh
pada keagungan Alla. swt. Seperti yang kali pertama dia dengar
kumandang adzan waktu terlahir ke dunia, maka kemenangan akan
senantiasa menemani perjalanan kehidupannya.
Dalam kosmologi Sunda, petuah yang kerap diajarkan para guru bijak
menyebutkan, bahwa, kampung halaman merupakan saripati kehidupan yang
terdapat dalam sejarah hidupnya. Saripati yang melekat dalam nurani
manusia harus selalu dipupuk dengan perilaku hidup yang
jujur,waskito, dan penuh darma.
Kampung halaman menjadi kampung kehidupan yang menyimpan segudang
warisan luhur yang tak ternilai; warisan ihwal kearifan,
kesederhanaan, keharmonisan, dan kemuliaan. Warisan agung tak gampang
didapatkan di perantauan, karena dunia perantauan kerap membuat
manusia begitu bergemuruh dalam kejaran duniawi.
Ajaran guru bijak dalam kosmologi Sunda membuka mata batin
kemanusiaan kita bahwa warisan agung bukan terletak pada kemewahan
materi dan keagungan jabatan. Kemewahan materi hanyalah bersifat
fana, dinikmati sesaat saja, dan kerap membuka pintu pertikaian
saudara.
Demi segudang materi, manusia kerap buta. Lalai dengan saudara
sendiri, sehingga sifat ke-humanisannya sebagai
manusia telah hilang. Bedegong. Adigung adiguna.
Demikian pula dengan keagungan jabatan, manusia sering lupa daratan.
Jabatan hanyalah pusaran kekuasaan yang dinikmati di atas
kesengsaraan rakyat jelata, karena meraihnya pun dengan politik asal
enak saja, tak peduli dengan keadilan dan kejujuran.
Maka, setidaknya, petuah Sunda yang berbunyi “balik deui ka
samula” menegaskan bahwa mudik adalah cara efektif untuk memetik
hikmah di balik terlahirnya dia ke muka bumi.
Berkah tersebut adalah putihnya jiwa-raga manusia, laksana kanvas
putih tak berdebu setitikpun. Kalau kanvas ini diisi dengan perilaku
hidup yang penuh kebajikan, maka manusia akan menebarkan cahaya
keagungan yang menerangi saudara sekitar. Pancaran cahaya dalam diri
manusia bisa semakin terang-benderang tatkala debu yang mampir terus
dibersihkan dengan setulus hatinya.
Belum lagi dengan petuah bongkok ngaronyok, bengkung ngariung.
Kedua petuah ini lebih
menegaskan lagi, bahwa orang Sunda adalah manusia yang senang
berkumpul bersama, dalam suka maupun duka.
Sayangnya, petuah agung yang dikarsakan para leluhur Sunda ini kerap
mampir saja dalam kesadaran manusia Sunda. Mudik justru hanya sebatas
persinggahan tanpa makna, tanpa sebongkah kesadaran ruhani, tanpa
ingatan ihwal kampung kehidupan, dan tanpa keinginan menjemput
warisan agung para leluhur.
Mudik sekedar prosesi penuh gemuruh, capek di perjalanan, kecelakaan
yang makin tenar, dan pamer harta dengan sanak famili. Kampung
halaman menjadi kampung memamerkan segala kemewahan dan kemegahan
yang didapatkan diperantauan.
Sebagian, manusia Sunda sudah enggan menikmati warisan leluhurnya
yang dinikmati sekarang ini justru gemuruh glamoritas yang hedonis
dan kapitalisitik. Hidup di tengah peradaban modern saat ini membuka
jalan rasionalitas yang ditekuni dengan pola hidup yang
empirik-positivistik.
Tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan dilihat dari seberapa banyak
gelimang materi yang dimiliki dan seberapa tinggi jabatan yang dia
raih. Semakin besar harta dan jabatannya, seketika manusia akan
menasbihkannya semakin sukses. Penglihatan mata wadag ini mengikuti
pola hidup yang empirik-positivistik.
Pola pemikiran yang mengikuti logikan modernitas ala-ala Barat ini
perlahan menyusupi pola pemikiran manusia Sunda, yang seketika
diaplikasikan dalam kehidupannya dewasa ini tanpa adanya filter
sedikit pun. Rasionalitas modern dihayati dengan logika yang salah
kaprah sehingga menjungkirbalikkan logika kosmologis yang melekat
dalam kesadaran dalam manusia Sunda.
Kesuksesan yang dititahkan para leluhur mengajarkan kesuksesan
terletak pada seberapa manfaat manusia dengan sesama (mere `masihan'
manfaat kanggo nu lain) dengan tetap teguh ingatan dengan Yang Esa
(teguh iman ka gusti Allah, pengeran). Mensinergikan dua sisi ini
menjadi tanggungjawab manusia untuk meraih kesempurnaan hidup
(menangkeun kesempurnaan hirup).
Tradisi mudik sudah sepatutnya dijadikan refleski, renungan, dan
muhasabah diri dari perilaku kehidupan yang bengal, baragajul,
serta penuh kegamangan.
Sejatinya, kampung halaman telah menyimpan segudang tradisi, hikmah,
dan pelajaran hidup yang sesungguhnya.
Hiruk pikuk mudik ini menegaskan, bahwa, mudik ke kampung halaman
adalah cara ampuh untuk mengembalikan warisan agung leluhur tersebut,
sehingga dapat dijadikan bekal untuk tata kelola kehidupan yang
tentram, damai, serta bermartabat.
Ciamis, 26 Juni 201
0 comments:
Post a Comment