Kartini, Asiani, dan Laoly

*sumber: behance.net



Kartini Pejuang Emansipasi
            Di negeri ini, siapa yang tak mengetahui sosok Kartini? Ya, saya sangat yakin sebagian masyarakat Indonesia, atau mungkin seluruh warga negara Indonesia, tahu akan sosok Kartini. Entah itu lewat buku sejarah, cerita seorang guru, atau mungkin pula lewat sebuah lagu.
            Sosok pahlawan wanita Indonesia, yang terkenal dengan kredo Emansipasinya, begitu kira-kira dia dikenal. Berkat dialah, wanita di negeri ini derajatnya bisa setara dengan laki-laki. Sehingga mempunyai hak yang sama satu sama lainnya, entah itu di bidang pendidikan, pekerjaan, atau apa pun itu, wanita bebas menentukan kehidupannya, pilihannya sendiri.
            Saya lalu membayangkan, bagaimana gigihnya perjuangan Kartini ketika itu, ketika zamannya penjajahan yang “serba keji dan bengis” itu. Di mana derajat seorang wanita, jauh di bawah laki-laki, yang tak jarang dilecehkan, bahkan.
            Maka, sebagai bentuk penghargaan atas kegigihannya berjuang melawan penjajah dan memperjuangkan hak wanita, acapkali tanggal 21 April diperingatilah sebagai hari Kartini, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya.
            Namun, di negeri ini, ya, di negeri yang maha luas ini, saya lalu membayangkan apa jadinya jika Kartini masih ada, hidup, dan berjuang membela kepentingan Bangsa serta hak seorang wanita? Ya, ketika melihat kondisi bangsanya yang dia perjuangkan bersama para pejuang lainnya itu, justeru kian merana dan memprihatinkan?
            Asiani Terancam Masuk Bui
            Namun, di Indonesia ini, di negeri yang maha luas ini, dalam beberapa hari belakangan, saya sedikit tersedak dengan sebuah pemberitaan yang memotret seorang nenek yang tak muda lagi itu, terseret kasus hukum yang sangat serius. Di usianya yang renta itu, dia terancam mendekam di balik jeruji yang bisa saja dia habiskan di sisa hidupnya.
            Sebutlah dia Asiani. Seorang nenek yang telah renta itu, yang beberapa hari belakangan ini menjadi sorotan media di negeri ini. Dia, menjadi sosok wanita yang paling disorot saat ini, selain Kartini, pejuang emansipasi itu. Namun, Asiani dikenal bukan karena itu, bukan pula seorang koruptor, tetapi dia dikenal karena tuduhan mencuri pohon jati. Imbasnya, dia terancam mendekam di balik jeruji besi.
            Sejak peristiwa itu, media berbondong-bondong menyorotnya, mencari-cari tentangnya. Yang pada akhirnya memuculkan reaksi, dan mendapat simpati dari berbagai pihak, namun bukan karena kasus pencuriannya lantas dia dikenal. Bukan.  Melainkan, tuduhannya yang dianggap berlebihan terlebih Asiani usianya tak muda lagi, dirasa tak adil dengan kasus korupsi yang jelas-jelas memuakkan itu, yang justeru kenyataannya banyak yang berkeliaran bebas. Sangat terbalik dengan apa yang menimpa Asiani yang terancam masuk bui.
            Di sanalah mengundang simpati, ironi, dan opini publik yang berkesimpulan bahwa hukum memanglah tak adil untuk rakyat seperti Asiani, di tengah gempuran korupsi yang jelas-jelas nyuri bahkan bisa membuat ribuan orang mati!
            Laoly, Pemberi Remisi
            Lain Kartini, lain pula Asiani, sebutlah dia Laoly. Ya, Yasonna Laoly lengkapnya. Pria yang kini menjabat Menkumham ini, tiba-tiba namanya melejit kepermukaan. Sebuah wacana dia gulirkan, tak tanggung, pemberian remisi untuk pelaku “korupsi”.
            Wacananya, tak ayal menuai badai. Mengejutkan publik, di tengah situasi pilu yang menimpa Asiani, justeru Laoly membuat wacana yang disinyalir “menguntungkan” para koruptor. Padahal, korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa (Extraordinnary Crime), di samping narkoba, dan terorisme.
            Seketika, namanya meledak. Membumbung keudara, dikenal layaknya Kartini, disorot seperti Asiani, oleh sebab kebijakannya yang justru bertolak belakang dan dianggap “menguntungkan” pelaku korupsi, di tengah kepiluan yang dialami Asiani dan disaat gempuran korupsi yang maha “terkutuk seterkutuknya” itu semakin menjadi, serta tak kunjung henti!
            Sebutlah itu negara Hukum
            Negara Indonesia adalah negara hukum. Begitu kira-kira bunyi pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945 (amandemen ketiga). Konsepannya jelas, supaya terciptanya kehidupan yang demokratis, dan terlindunginya hak azasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan.
            Sebagai warga negara Indonesia yang baik, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, artinya segala sesuatu mesti tunduk dan patuh terhadap hukum, maka saya sangatlah mafhum akan hal itu.
            Ya, saya setuju benar dengan hal itu. Sebab, negara kita adalah negara hukum. Di mana hukum berdiri di atas segala-galanya. Tiada lain. Maka, segala hal yang dikira bertabrakan dengan hukum, melanggar hukum, sangatlah wajib untuk ditindak, dan menerima konsekuensi logis atas tindak-tanduk kita yang tak sesuai aturan itu, tentu dengan konsekuensi yang telah tertulis (konstitusi/uu/pasal), yang tentu saja tak bisa dihindarkan begitu saja. Oleh sebab, sifatnya mengikat, dan memaksa siapa saja di dalamnya. Termasuk untuk Asiani.
            Tapi, saya hanya mencermati satu hal, apakah kita akan tega mengadili seorang Asiani dengan tuduhan mencuri pohon jati kendati usianya telah renta begitu, lalu di sisi lain kita memberikan “bonus” untuk para koruptor secara cuma-cuma kendati dia seorang pencuri dan atas kelakuannya membuat jutaan orang sengsara dan mati, bahkan?!
            Maka, pertanyaannya di manakah letak keadilan itu?
            Tumpul Keatas Tajam Kebawah
            Tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sebuah istilah yang nyaris sempurna benar. Lagi-lagi kita disuguhkan pemandangan yang membuat kita tercengang, terkejut, bahkan tersedak. Di mana hukum diperuntukan untuk “mereka” yang masuk dalam golongan ekonomi lemah, dan bagi “mereka” golongan mapan, bukan sesuatu yang menakutkan, melainkan sebuah parody kehidupan yang sungguh tak adil yang mereka pertontonkan  untuk “masyarakat” menengah ke bawah. Bahwa daulat uang dan jabatan, adalah sebuah tiket atau mungkin “garansi” untuk bebas, keluar dari kasus yang menyeretnya. 
            Tangisan Kartini Untuk Asiani
            Saya yakin seratus persen, jika Kartini masih ada, mungkin dialah wanita pertama yang akan berkacak pinggang di hadapan para pengadil itu. Menentang, bahkan mungkin pula melawannya seperti kegigihannya melawan penjajah. Terlebih, apa yang menimpa Asiani, dirasa cukup melecehkan harkat dan derajat seorang wanita, dan parahnya lagi seorang wanita yang telah renta.
            Namun, sayang, Kartini telah tiada. Perjuangannya pun kabur begitu saja , bahkan pula bernilai sia-sia, jika melihat kenyataan yang teramat memilukan ini. Kini, di sana mungkin Kartini tengah menyaksikannya, menangis tersedu, meratapi perjuangannya.
            


Ciamis. 20 April, 2015

SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments:

  1. Selamat hari Kartini, semoga kita para perempuan menjadi tangguh hatinya namun tetap memiliki kelembutan dan cinta kasih.. :)

    ReplyDelete