Ironi Nenek Asyani dan Remisi Koruptor Ala Pak Menteri

Sebagai warga negara Indonesia yang baik,bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, artinya segala sesuatu mesti tunduk dan patuh terhadap hukum, maka saya sangatlah mafhum akan hal itu.
Ya, saya setuju benar dengan hal itu. Sebab, negara kita adalah negara hukum. Di mana hukum berdiri di atas segala-galanya. Tiada lain. Maka, segala hal yang dikira bertabrakan dengan hukum, melanggar hukum, sangatlah wajib untuk ditindak, dan menerima konsekuensi logis atas tindak-tanduk kita yang tak sesuai aturan itu, tentu dengan konsekuensi yang telah tertulis (konstitusi/uu/pasal), yang tentu saja tak bisa dihindarkan begitu saja.
Namun, di Indonesia ini, di negeri yang maha luas ini, dalam beberapa hari belakangan, saya sedikit tersedak dengan sebuah pemberitaan yang memotret seorang nenek yang tak muda lagi itu, terseret kasus hukum yang sangat serius. Di usianya yang renta itu, dia terancam mendekam di balik jeruji yang bisa saja dia habiskan di sisa hidupnya.
Bayangkan, seorang nenek yang renta terseret kasus hukum yang begitu serius, dan itu kita saksikan dengan mudah di televisi. Di sisi lain, kita juga menyaksikan betapa kasus korupsi yang maha dahsyat itu, “mereka” yang telah ditetapkan menjadi tersangka, justeru berbondong-bondong mengajukan pra peradilan agar namanya steril dari kasus yang menyeretnya itu.
Disadari atau tidak, ini adalah sebuah ironi, sebuah potret kehidupan berbangsa dan bernegara berdasar atas realita yang ada. Bukan mengada-ngada, melainkan benar adanya.
Tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sebuah istilah yang nyaris sempurna benar. Lagi-lagi kita disuguhkan pemandangan yang membuat kita tercengang, terkejut, bahkan tersedak. Di mana hukum diperuntukan untuk “mereka” yang masuk dalam golongan ekonomi lemah, dan bagi “mereka” golongan mapan, bukan sesuatu yang menakutkan, melainkan sebuah parody kehidupan yang sungguh tak adil yang mereka pertontonkan untuk “masyarakat” menengah ke bawah. Bahwa daulat uang dan jabatan, adalah sebuah tiket atau mungkin “garansi” untuk bebas, keluar dari kasus yang menyeretnya.
Saya pun kian terperangah lagi, begitu kejut, bahkan. Mungkin pula, tidak cuma saya sendiri yang terperangah, puluhan, bahkan jutaan orang di negeri ini, mana kala sebuah wacana kebijakan ala “pak menteri”, yang katanya sedang mengkaji pemberian remisi untuk para koruptor, sangatlah kontras dengan apa yang menimpa nenek Asyani. Nenek yang renta itu, terancam mendekam di balik jeruji. Sedang mereka yang korupsi, merasa hepi, sebab dalam waktu dekat remisi menanti.

  Sebuah ironi, di kala korupsi menggerogoti, hadiah justeru menanti. Di saat sang nenek membutuhkan simpati, jeruji kian mendekat. Sedang, “pak menteri” malah berparody, dan saya merasa pusing sendiri, di sisi lain, masyarakat Indonesia merasa patah hati gara-gara pohon jati, bahkan sakit hati karena korupsi.

2015
SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment