Catatan Hati Seorang Jomblo

Bujangan Lapuk

Sampai hari ini, belum pernah sekali pun aku pacaran. Ya, pacaran. Bahkan mana kala kulihat iklan yang menyebalkan itu, begitu jleb dihatiku. Perih!
Om...om, truck aja gandengan. Masa Om nggak?!
Bertubi-tubi menusuk perasaanku. Malu. Ya, malu.
Status jomblo yang menyerangku, hingga kini masih lekat dalam tubuhku. Diantara teman-temanku, adik-adikku, hingga remaja dimabuk cinta, akulah si raja jomblo itu.
Jomblo!
Ah, dasar bujangan lapuk...!
Begitulah ledekkan mereka.
Sering terpikir dalam otakku. Bagaimana, ya, rasanya pacaran? Bahkan ketika teman seusiaku menikah.
Ah, aku pasrah menelan ludah.
Suatu hari, ketika menghadiri undangan pernikahan temanku, seseorang menyahut dengan keras, “ Kamu ini tiap hari ke undangan. Naha, ari kamu iraha atuh?!”
“Ah, si ѐta mah teu resepeun ka awѐwѐ!” sahut yang lainnya, di sambung dengan tawa.
Sungguh pedih rasanya mendengar kata-kata itu. Seperti luka kulit yang terkena sayatan hinis.
“Kapan giliranku! Tuhan, mengapa aku selalu jomblo, Tuhan?!” pekikanku bertubi-tubi.
Sebagai manusia, tentu aku menginginkan semua itu, merasakan indahnya masa muda yang penuh warna.
Tapi tidak buatku!
Sekian lama aku menjomblo. Baru kali ini aku merasa kesepian. Hampa. Hambar. Tak berasa. Dan, yang paling membuatku merasa sendiri, ketika aku mendapat cibiran homo, gay, nggak normal!
Aku sakit.
Jungkal.
Dengan kata-kata yang melesat seenaknya itu dari bibir-bibir tajam sahabatku.
Meski, cibiran itu beralasan. Mungkin, karena memang mereka tidak pernah mendengar atau sekadar melihatku berdekatan dengan cewek. Sama sekali. Ya, oke aku terima alasannya itu.
Ah, tapi tahukah mereka, bahwa sebenarnya hatiku ini berontak.
Aku memekik. Remuk redam batinku.
Biar bagaimana pun, aku lelaki yang punya hati.
Hampir tiap hari aku meratapi diriku sendiri. Diusiaku yang kedua puluh dua. Aku benar-benar terpuruk. Aku ingin seseorang hadir dalam kehidupanku, menemaniku, bersamaku, di mana pun, kapan pun aku berada, dan dalam kondisi apapun.
Tapi tak kunjung datang. Hadir menemani hari-hariku. Menghiburku tatkala aku sedih, menyemangatiku kala aku terpuruk.
Di mana sebetulnya tulang rusuk itu berada. Tuhan?!
Bahkan sempat-sempatnya aku mengingat ayat yang Kau janjikan dalam kitab suci yang Agung itu, bahwa setiap makhluk diciptakan berpasang-pasangan.
Tapi tidak buatku, Tuhan?!
Aku sangat lara dengan takdirku sendiri.
Disaat teman-teman seusiaku sedang asik-asiknya dengan dunia mereka yang penuh warna. Hari-hari mereka yang banyak rasa. Aku merana. Kecewa dengan apa yang menimpaku. Hari-hariku selalu sama.
Sepi.
Sunyi.
Senyap.
Hingga bertahun-tahun.
Selalu setiap saat.
Tuhan. Apakah Engkau akan terus membiarkan hambaMu seperti ini?
Apakah Engkau tega membiarkanku hidup dalam kesendirian?
Tuhan, aku memohon pada-Mu, hadirkanlah sosok yang selama ini aku butuhkan, aku impikan, aku idamkan, hingga aku dambakan.
Untuk sekadar say hello, bahkan pacaran sekali pun.
“Kamu kok nggak pacaran-pacaran?” tanya temanku kala itu, Jajang namanya.
“Ah, pacaran kan dilarang oleh agama,” jawabku, ngeles.
Sempat-sempatnya aku berkata seperti itu. Padahal kenyataannya hatiku mendidih.
“Jodoh itu dicari. Bukan ditunggu!” sergahnya.
“Ah, Jodo bagja pati cilaka, Gusti yang ngatur!” tegasku.
“Terserah, kalo ditunggu terus. Ya, kapan dapatnya atuh,” dia menepuk punggungku, “buktinya 'kan kamu masih jadi bujangan lapuk!” sergahnya.
Kutundukan kepalaku.
“ Ya, juga sih.”
“Nah, kamu ngaku 'kan. Percuma atuh kamu pasrah dan berdo'a gé, ari teu dibarengan jeung usahana mah. Palingan, tetap saja kaya gitu. Bujangan lapuk. Hehehe.”
Aku diam.
Kata-katanya berhasil menampar pikiranku.
Ah, benar juga.
Belum sempat kubicara. Dia kembali menyahut, “Pan ceunah ogé Gusti mah mowal ngarobah hiji kaum, salian kaum éta sorangan nu ngarobahna. Nya, carana kuusaha téa. Lamun hayang jodo, matakna téangan. Lamun...”
“Heup! Kaharti,” potongku.
*
Duh, Gusti Nu Agung. Betapa hebatnya cobaan yang Engkau berikan padaku. Bertahun-tahun aku hidup dalam kesendirian. Dikucilkan, diasingkan, hingga jadi bahan cemoohan.
Sampai kapan status ini akan lekat dalam tubuhku?
Aku rela.
Aku ikhlas.
Aku pasrah menerima cibiran itu.
Cibiran bujangan lapuk yang teramat menyebalkan itu. Aku ikhlas tuhan!


 Bila pada akhirnya Engkau menghadirkan seseorang yang telah Kau janjikan dalam ayat suci-Mu yang Agung itu.

Ciamis, Oktober 2013

SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment