Aku Ingin Digampar
Lagi Pak
Plak...plak...plak...!!!
Begitulah gamparan
keras yang menghunjamku beberapa tahun lalu, oleh wali kelasku
sendiri, ketika masih berseragam SMP, 8 tahun silam.
Bahkan hingga kini
gamparan itu masih membekas dalam ingatanku. Sebuah buku paket
setebal 3 cm yang dia lipatkan, dipegangnya erat, penuh marah, murka,
semurka harimau menerkam mangsanya. Sorot matanya tajam, wajahnya
nyala, laksana bara api pelebur besi.
Plak...Plak...Plak...!!!
Wajahku menggumpal
tebal, lebam, seolah terkena benturan benda tumpul padahal hanya
karena sebuhah buku. Begitupun temanku. Hampir 80% lelaki yang ada di
kelasku bernasib sama sepertiku.
Puluhan pasang mata
memandang. Cemas, heran, bahkan ada yang bergetar ketakutan melihat
kejadian mengerikan itu.
Rasanya aku ingin
menangis sekencang-kencangnya, sederas-derasnya. Aku tak peduli
dengan statusku sebagai lelaki, karena nyatanya rasa sakit yang
kualami tidak mereka rasakan.
Aku kecewa dengan
sikap arogansi guruku, yang dengan tega menggamparku di depan banyak
orang. Gamparan yang dilakukannya sangatlah kejam, sadis, tidak
manusiawi.
Dia adalah
satu-satunya orang yang berani menggamparku dibanding kedua orang
tuaku semarah apapun itu. Rasanya tidak pernah setega itu, paling
hanya sekadar gertakan kata. Cukup.
Aku marah. Aku benci
sebenci-bencinya. Guru yang aku banggakan, aku kagumi, dan
satu-satunya sosok bijaksana yang kutemui di sekolaku itu, seketika
menjadi orang paling menyebalkan dalam hidupku. Dan bahkan detik itu juga
aku bersumpah dan medeklarasikan diri untuk tak lagi menjadi anak
didiknya!
Hingga
sempat-sempatnya aku berpikir untuk melaporkan tindakannya, dan
mendo'akannya agar dia dipenjaraka, serta mendapatkan ganjaran yang
setimpal! Pekikanku tajam.
Sungguh! Betapa
lancangnya pikiranku saat itu, tak kuat menahan kekesalan dan kekecewaan yang teramat berat serta menyakitkan itu.
Aku malu tertunduk
lesu. Dengan wajah yang menggumpal tebal, dipenuhi keringat yang
tanpa henti bercucuran deras dari ujung keningku hingga berjatuhan ke
lantai.
Ah, aku lemah. Aku
lunglai. Aku pasrah. Aku terjerembab ke dalam lautan busuk yang
menyeretku pada lobang kehancuran.
Ya, sebelum kejadian
itu, aku dikenal sebagai seorang yang alim, pintar, aktivis, dan
berkpribadian baik. Bahkan guru-guruku selalu menyanjungku,
menjadikanku panutan bagi teman-temanku. Entahlah, aku tak mengerti
dengan semua itu, yang kujalani hanyalah sekolah dan sekolah, tidak
lebih.
Tapi, perlakuan guruku itu, sungguhlah kejam dan tak adil. Sungguh tak adil, menurutku.
Dia menggamparku hanya karena aku tak ikut pelajaran tambahan jelang Ujian Nasional. Padahal itu baru kali pertama aku melakukannya. Dan, sementara itu, teman-teman sekelasku, sudah berkali-kali bahkan hingga tak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, mereka aman-aman saja. Tenang-tenang saja. Tidak dihukum. Apalagi digampar.
Sialnya, itu tak berlaku bagiku. Dan, inilah yang membuatku kecewa.
***
Sekarang aku
mengerti, sekeras apaun gamparan itu, sesakit, dan sepedih apa pun aku
kala itu, hingga betapa malunya aku dengan kejadian itu, sungguh
adalah kebodohan melebihi apa pun.
Karena nyatanya
sekeras apapun gamparan yang dilakukannya terhadapku, yang melahirkan
kebencian dalam diriku terhadapnya, semata bentuk kasih sayangnya
terhadapku juga yang lainnya selaku anak didiknya. Meski tindakannya
terlalu keras dan gegabah yang bisa saja menyeretnya ke jalur hukum,
seandainya aku melaporkan kejadian itu.
Aku tersenyum
mengingatnya. Aku sadar bahwa aku salah karena tak mengikuti
pelajaran tambahan yang jelas-jelas untuk kepentingan diriku sendiri.
Aku bolos bersama seluruh penghuni kelasku. Mungkin itulah yang
menyulut kemarahannya hingga semurka itu.
Meski hati kecilku
berontak, ya, aku melakukan pembolosan itu untuk pertama kalinya, dan
tak pernah membuat keonaran apa pun di sekolahku. Tak adil rasanya.
Ah, kendati
demikian, patutlah aku bersyukur dan berterimakasih kepadanya, karena
berkat gamparannya aku diingatkan bahwa hidup haruslah senatiasa
disiplin sebagaimana mestinya, kapanpun, dan di mana pun aku berada.
Walau sakitnya
gamparan itu, dan menurutku salah, tapi aku mengerti. bahwa ketika
aku salah, maka aku perlu diingatkan. Dan ketika aku hiraukan, maka
ingatkanlah aku dengan tindakan. Bahkan hingga gamparan sekalipun
meski sakit. Tapi, akan lebih sakit lagi jika aku dibiarkan tanpa
pernah diperingatkan!
Ah, akan kutemui
dia, dan kuciumi tangannya. Lalu akan kukatakan padanya, “Aku ingin
digampar lagi, Pak..."
Ciamis, 2014.
*NB: Kisah ini berdasar kisah nyata penulis. Semata ditulis untuk mengenang masa lalu dan sebagai bahan renungan untuk menjalani hidup. Bahwa sejatinya, kesalahan sebesar dan sekecil apa pun bentuknya, maka harus ada sanksi dan tindak, diingatkan serta diluruskan.
0 comments:
Post a Comment