Nahrawi, Sepak Bola, PSSI, dan Kenangannya


*sumber; google


Sosok Imam Nahrawi
Siapa yang tak kenal sosok Nahrawi?
Rasanya, akan sulit disangkal bahwa sosok pria berkumis ini eksistensinya dikancah nasional tidaklah dikenal. Saya rasa ini adalah statement yang cukup keliru, ngawur, bahkan.
Pria yang bernama lengkap Imam Nahrawi ini adalah sosok yang teramat penting di negeri ini, posisinya sangatlah strategis, dengan jabatan Menteri Pemuda dan Olah raga (Menpora) pada kabinet kerja ala Jokowi Dodo.
Keberadaannya, kini tengah menjadi buah bibir jutaan orang di negeri Indonesia yang kebanyakaan penikmat olah raga, entah itu sebagai atlet, orang yang hanya gemar berolah raga, atau penonton belaka.
Sebutlah itu Sepak Bola
Ya, cabang olah raga yang satu ini begitu populer di dunia, begitu pun di Indonesia. Jutaan orang selalu setia menanti keberadaanya, untuk sekadar datang ke lapangan memberi dukungan tim kesayangannya, atau hanya menontonnya di layar kaca.
Semua orang rela berbondong-bondong datang ke lapangan, panas terik, gemuruh angin, terjangan hujan, bukanlah penghalang. Terlebih, yang bertanding adalah tim kesayangan, tim kebanggaan, yang berjuang membela daerahnya, membela negaranya, bahkan. Bagi mereka, bertanding di lapangan sama halnya dengan berjuang mempertahankan kedaulatan bangsanya.
Di Eropa, kita mengenal ada Real Madrid, Barcelona, AC Milan, Bayer Muenchen, Ajak Amsterdam, PSG, Chelsea, dan sederet klub Sepak Bola lainnya, yang keberadaannya begitu familiar, bahkan kita gilai sebagai tim kebanggaan, termasuk di Indonesia. Sebutlah itu Persib, Persija, Arema, Persipura, hingga klub-klub lainnya yang begitu membludak jumlahnya.
Keberadaannya telah membius seluruh pasang mata untuk menyaksikannya lagi dan lagi. Tanpa henti. Sebab, Sepak Bola, adalah jati diri bangsa, alat pemersatu bangsa yang paling efektif, yang menyuguhkan olah raga, hiburan, dan drama kehidupan sekaligus yang penuh dengan pembelajaran berbalut sportifitas.
Acapkali tim kesayangan kita bertanding di lapangan hijau, ada kebanggaan tersendiri dalam diri kita. Terlebih yang bertanding negara kita, seketika semangat nasionalisme kita membuhul di hati. Tiupan trompet, tabuhan drum, serta nyanyian penyemangat tak henti-hentinya bergemuruh di lapangan.
Ada rasa bangga, rasa haru, sedih, kecewa, bahagia, manakala kita menyaksikannya. Terlebih, ketika para pejuang lapangan ini memberikan hasil yang memuaskan, perjuangan kita di pinggir lapangan terbalaskan.
Sayangnya, di negeri ini, Sepak Bola justeru mati suri. Dipaksa mati! Kira-kira begitu saya menyebutnya. Kendati, bisa saja dugaan saya itu keliru, melenceng dari kenyataan aslinya.
Matinya PSSI
Adalah PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia), sebagai induk sepak bola nasional yang kini keberadaannya telah mati suri. Ya, bagaimana tidak, kisruh persepakbolaan nasional yang bermula dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Menpora, yang dalam hal ini digawangi Nahrawi selaku menteri, mengeluarkan SK terkait PSSI, yang pointnya tidak lain adalah pembekuan PSSI.
Maka, secara tidak langsung, segala sesuatu yang menginduk pada PSSI menjadi beku. Mati suri. Otomatis, legalitasnya dipertanyakan, sehingga tak bisa menjalankan segala macam aktifitas di dalamnya, termasuk menjalankan roda kompetisi yang keberadaanya selalu ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia sebagai satu-satunya hiburan di tengah kian bosannya dijejali tayangan-tayangan korupsi yang sungguh memuakkan itu!
Celakanya, keputusan tersebut diperparah lagi dengan sanksi yang dikeluarkan oleh induk sepak bola dunia, FIFA, terkait adanya intervensi pemerintah lewat Menpora Imam Nahrawi, yang berdampak sistemik terhadap persepakbolaan nasional sehingga tak bisa tampil di ajang internasional, yang ujung pangkalnya berdampak pada segala hal yang menyangkut sepak bola.
Akibatnya, mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sepak bola, mulai dari pelatih, pemain, official, hingga pedagang, benar-benar terjajah hak-haknya, ihwal keputusan yang dikeluarkan Nahrawi dengan dalih PSSI harus dipenahi sebagaimana sering didengungkannya.
Okelah, kita mendukung keputusan pemerintah jika ada itikad baik untuk perbaikan kedepan dalam hal apa pun, termasuk sepakbola. Kita tentu menginginkan timnas sepak bola berprestasi, baik di kancah asia, bahkan dunia sekalipun.
Namun, sialnya, keputusannya justeru merugikan banyak pihak, dan bahkan caranya disinyalir salah kaprah, penuh kontroversi, serta sungguh menyakitkan hati banyak orang, khususnya penikmat sepak bola nasional.
Jika sudah begitu, maka tidaklah salah seandainya banyak orang yang menghujat, membenci, hingga pada level anti Nahrawi, yang berujung pada penolakan kebanyakan orang yang enggan mengakui Nahrawi sebagai menteri, karena keputusannya telah merusak harmoni kehidupan selama ini, sehingga membuat orang sakit hati, bahkan.
Saya tentu tidak mengharapkan kejadian seperti itu. Namun, lagi-lagi, saya hanya berandai-andai dan selalu ingat dengan sebuah ungkapan, bahwa siapa menanam dia memanen, serta tak ada asap jika tidak ada api.
Semoga akan baik-baik saja.


*King Village, Ciamis, 2 Juni 2015


SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment