Ramadhan Untuk Pencerahan Pemimpin Bangsa

Bulan suci RAMADAN segera tiba. Puasa sebagai ibadah tahunan di dalamnya, seharusnya dijadikan momentum agar kian tegaknya etika dalam khazanah para pemimpin bangsa.
Mayoritas kalangan beranggapan, bahwa Ramadan bukan hanya sekedar bulan untuk melatih kesabaran, menahan lapar, dan dahaga, di samping juga berempati kepada mereka yang tidak berpunya. Tapi, lebih dari itu, Ramadan sejatinya bisa menjadi wahana pengekangan diri dari keserakahan dan keegoisan diri. Sebagaimana kerap kita saksikan selama ini, keserakahan dan keegoisan diri begitu mendominasi jagat para pemimpin, baik di level lokal maupun level nasional.
Imbasnya, aktivitas politik bangsa ini yang notabene melahirkan pemimpin, hanyalah menghasilkan sebuah demokrasi rendahan, yang gegap-gembita dengan kian maraknya perilaku tidak elok yang bertolakbelakang dengan prinsip-prinsip etika.
Akibatnya, segala cara dihalalkan sedemikian gagahnya. Hal inilah yang kemudian dijadikan sebuah prinsip yang tampaknya semakin kental menghiasi jagat politik kita. Ujungnya, etika pun terpinggirkan. Contohnya seperti yang kita semua saksikan hari-hari belakangan ini, di mana caci-maki, bualan, hujatan, serta fitnah demikian entengnya dilakukan oleh banyak pelaku politik kita, para pemimpin, yang seharusnya menjadi tokoh panutan masyarakatnya.
Maka, pertanyaannya kemudian dapatkah Ramadan bulan di mana kitab suci al-Qur'an diturunkan, menjadi momentum bagi makin tegaknya etika pemimpin kita, sehingga segala kebaikan akhirnya bisa kita raih?
Berperilaku secara benar
Mulanya, kata `etika' berasal dari kata bahasa Yunani `ethikos'. Kemudian diserap lagi ke dalam bahasa Prancis, `ethique', lalu ke dalam bahasa Inggris, `ethics'.
Dalam situs freedictionary.com, setidaknya ada dua batasan mengenai 'ethics' sebagai (1) "a set of principles of right conduct" dan (2) "a theory or a system of moral values."
Dari dua batasan ini, secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa etika, pada intinya, terkait dengan dua hal. Pertama, prinsip-prinsip berperilaku secara benar, dan kedua, sistem nilai-nilai moral.
Jagat politik yang meminggirkan etika, dianggap telah meninggalkan prinsip-prinsip berperilaku secara benar dan menanggalkan nilai-nilai moral, sehingga yang tersisa hanyalah praktik laku kotor yang menelurkan segala macam bentuk keburukan.
Velasquez et al (2010), beranggapan, etika merujuk kepada standar baik dan buruk. Sehingga, etika biasanya terkait dengan hak, kewajiban, manfaat terhadap masyarakat, kejujuran, dan kebaikan-kebaikan khusus.
Sebagai contoh, etika merujuk kepada prinsip yang mewajibkan untuk tidak menipu, mencuri, mencemooh, menyerang, menyakiti, memalsukan, memfitnah. Tak hanya itu, etika pula mencangkup hal-hal yang terkait dengan kejujuran, kasih sayang, serta kesetiaan, di samping yang terkait dengan penghormatan atas hak untuk hidup dan hak untuk memeroleh kebebasan dan kemerdekaan.
Tak cukup sampai di situ, etika, menurut Velasquez et al (2010) juga merujuk pada pengkajian dan pengembangan standar moral dalam masyarakat. Dengan demikian, etika adalah upaya terus menerus untuk mempelajari keyakinan dan perilaku moral, termasuk sebagai jaminan terciptanya kebaikan-kebaikan dalam berbagai lembaga, kelompok organisasi, yang terdapat di masyarakat.
Maka, alangkah elok rasanya jika semua aktivistas politik di negeri ini, yang dalam hal ini para pemimpin bangsa, selalu berlandaskan pada prinsip etika seperti pandangan Velasquez et al.
Puncaknya, aktivitas politik yang dijalankan para pemimpin bangsa membuahkan kemanfaatan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Inilah tantangan besar para pelaku politik kita, para pemimpin bangsa -- dari level yang terendah hingga level yang paling tinggi.

Akhirnya, dengan datangya bulan suci Ramadan ini, sudah selayaknya membawa semangat dan pencerahan tersendiri bagi kian tegaknya etika pelaku politik kita, yang selama hanya mengedepankan keserakahan, dan keegosian masing-masing, sehingga tak melahirkan suatu kebaikan apa pun terhadap masyarakatnya.

Ciamis, 12 Juni 2015
SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment