Keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di negeri ini kian hari kian
mengkhawatirkan, menyusul adanya serangkaian upaya pelemahan lembaga
antirasuah itu.
Bahkan, serangkaian upaya pelemahan lembaga tersebut kali ini lebih
sistematis lagi karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
Pemerintah tengah menyiapkan sejumlah usulan revisi Undang-Undang No
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Upaya pelemahan ini melalui revisi UU KPK yang kembali diusulkan DPR
belakangan ini. Adapun upaya pelemahan itu di antaranya terkait
peninjauan kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelangaran
hak asasi manusia, yakni hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang
telah diproses pro justitia. Tak
hanya itu, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu
disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung, membentuk dewan
pengawas, adanya pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pimpinan jika
berhalangan, dan peninjauan penguatan terhadap pengatutan kolektif
kolegial maupun penataan kembali organisasi kelembagaan KPK.
DPR dan Pemerintah berdalih
dengan berbagai macam alasan, padahal, jelaslah revisi UU KPK yang
mereka gulirkan dan menjadi perioritas dalam Program Legislasi
Nasional 2015, nyatanya akan semakin melemahkan KPK, dan bahkan
mengkerdilkan KPK.
Sebagai contoh, jika
nanti kewenangan penyadapan hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang
telah diproses pro
justitia,
maka penyadapan pada tahap ini justru tidak memiliki nilai lagi.
Padahal,
kita tahu, tanpa adanya penyadapan ini, KPK akan kesulitan melakukan
operasi tangkap tangan. Justru tindakan wiretapping
ataupun surveillance
itu menjadi bagian dari tahap penyelidikan yang non pro
justitisia.
DPR
dan Pemerintah sepatutnya jangan terlalu fokus dan bernafsu untuk
merevisi UU KPK, justru sebaliknya DPR dan Pemerintah sudah
seharusnya mengubah orientasi UU untuk lebih memperkuat KPK secara
kelembagaan agar bisa menjalankan tugas pencegahan sekaligus
memberantas korupsi secara lebih efektif dan komprehensif lagi.
Misalnya, dengan menambah kewenangan untuk mengangkat penyidik dan
penyelidik sendiri, membuka kantor di tiap daerah, merekrut
jaksa-jaksa terkait penuntutan, penguatan posisi pimpinan, hingga
mengatur suvervisi perkara korupsi dengan sekala yang lebih besar,
yang ditangani penegak hukum lainnya.
Padahal, kita tahu, selama ini keberadaan KPK cukup berhasil
memainkan perannya dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sontak, wajar saja, jika kita masyarakat indonesia sedikit memekik
dan bertanya-tanya di kepala masing-masing tentang upaya DPR dan
Pemerintah untuk merevisi UU KPK. Rasanya, sulit bagi kita untuk
membuang kecurigaan dan sedikit keraguan yang mengganggu, bahwa apa
yang dicanangkan DPR dan Pemerintah disinyalir sebagai upaya
melemahkan KPK, dengan dalih ingin merevisi undang-undang tersebut.
Celakanya, revisi ini dapat dijadikan momen emas oleh pihak-pihak
tertentu yang selama ini tidak suka dengan keberadaan lembaga
antirasuah itu. Bisa saja dalam revisi tersebut, dimasukanlah
pasal-pasal yang sifatnya membatasi atau mungkin mengurangi
kewenangan KPK. Kecurigaan ini setidaknya berdasar atas usulan untuk
menghilangkan kewenangan KPK melalui penyadapan, dan menghilangkan
kewenangannya memutus kasus korupsi.
Terakhir, mari kita berdo'a saja. Semoga tugas mulia yang selama ini
dijalankan KPK dalam upaya pemberantasan terhadap korupsi di negeri
ini, tetap lancar, tanpa kendala. Kendati upaya-upaya pelemahan ini
semakin gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang selama ini merasa
terancam keberadaannya. Mudah-mudahan, dengan adanya wacana ini, KPK
lebih meningkatkan lagi kinerjanya, berhati-hati, serta tidak gegabah
dalam melahirkan suatu keputusan. Sehingga tidak dicap menyalahi
kewenangannya, apalagi sampai muncul stigma, bahwa KPK adalah lembaga berbau politk.
*Ciamis, 19 Juni 2015
0 comments:
Post a Comment