Bedug dan Realitas Zaman


*Sumber : karawanginfo.com


Bedug memang dikenal di kalangan umat muslim sebagai salah satu instrumen sakral yang berkaitan dengan ibadah, terutama shalat. Bedug juga biasanya digunakan sebagai pengingat waktu shalat wajib lima waktu, hingga tradisi keagamaan seperti Ramadhan dan Idul Fitri maupun Idul Adha.
Belakangan, bedug tak banyak dipakai sebagai penanda waktu shalat lima waktu. Saat ini, bedug lebih menjadi simbol tradisi keagamaan yang ditabuh pada waktu-waktu tertentu, terutama yang mengandung keistimewaan seperti Ramadhan maupun lebaran.
Padahal, dulu, jauh sebelum kemajuan zaman begini, sebelum bertebarannya deretan kendaraan dengan berbagai merk dan gaya—motor maupun mobil, serta bejubelnya merek gadget berikut speknya yang canggih itu, setidaknya bedug menjadi salah satu tradisi tahunan dan hiburan paling efektif tatkala puasa.
Saya ingat betul dulu ketika usia saya masih remaja, acapkali datang bulan puasa, hati saya gembira. Senang menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, yang berarti saya bisa bermain bedug, ngadulag bersama teman-teman. Kira-kira, begitulah apa yang tertanam di benak saya kala itu.
Memang, permainan bedug ataupun ngadulag, kala itu selalu menjadi sarana paling efektif selama berpuasa. Selain digunakan sebagai pertanda waktu sholat, datangnya waktu imsak, pula sebagai hiburan menunggu datangnya waktu Maghrib. Ngabuburit.
Puncaknya, acapkali datang bulan suci Ramadhan, tabuhan bedug terdengar di mana-mana. Puluhan anak datang ke mesjid dengan begitu semangat, karena ingin ngadulag. Setidaknya, dengan adanya bedug inilah mesjid-mesjid selalu semarak. Hitung-hitung ngamumulé tradisi. Terlebih, bedug jarang digunakan seintensif bulan suci Ramadhan.
Ada rasa haru, senang, hingga gembira, tiapkali mendengar tabuhan bedug. Kesan bulan suci Ramadhan begitu terasa, melekat di hati. Dengan bedug, kebersamaan di antara kami terasa sangat dekat, begitu hangat.
Apalagi ketika malam takbiran, suara bedug menggema di mana-mana, bersahut-sahutan satu dengan lainnya, menyatu dengan kumandang takbir, menambah kesan yang begitu mendalam, bahwa inilah Ramadhan, inilah malam kemenangan, yang menunjukan kepada kita akan keagungan-Nya. Allah. swt.
Realitas Zaman
Dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun, yang namanya kehidupan senantiasa mengalami perubahan, termasuk segala unsur di dalamnya. Semuanya berjalan dinamis, seiring kemajuan zaman yang tak dapat dielakkan lagi.
Lihatlah kini, betapa bertebarannya merk kendaraan, juga bejubelnya gadget berikut speknya yang serba canggih itu, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap cara pandang serta arus pergaulan kita dewasa ini, yang pada akhirnya perlahan mengikis tradisi dan kebiasaan, termasuk cara pandang kita di masa sebelumnya.
Tak ada yang salah sebetulnya dengan arus perubahan seperti ini. Bahkan Rasulullah pun mengingatkan kepada kita, bahwa manusia sudah selayaknya mengalami perubahan. Perubahan kearah yang lebih baik, tentunya, dan bagi mereka yang justru tidak mengalami perubahan, termasuk dalam orang yang merugi.
Namun, di sisi lain, dengan adanya arus perubahan ini ada yang justru dapat membahayakan cara pandang dan tradisi kita yang telah ada sejak puluhan tahun, yang perlahan sirna begitu saja dari kehidupan kita. Padahal, sejatinya, tradisi yang telah ada sejak puluhan tahun silam itu, berdampak baik terhadap kehidupan sosial dan keagamaa kita.
Salah satu tradisi yang perlahan terkikis oleh kemajuan zaman itu adalah bedug. Bedug yang kita tahu sering dijadikan simbol keagamaan itu, kini keberadaannya perlahan lenyap begitu saja dari kehidupan kita.
Tengoklah, dalam beberapa Ramadhan yang telah kita lalui, dari tahun ke tahun, perubahan tersebut kian terasa. Sangat sulit dijumpai orang-orang yang bermain bedug. Ngadulag di mesjid seperti dulu kala, entah itu sehabis shalat Shubuh, Isya, Tarawih, hingga di saat ngabuburit. Terlebih, para remaja masa kini, yang hidup di era post modern yang serba canggih ini, membuktikan kepada kita bahwa arus perubahan itu nyata adanya.
Realitas sekarang, orang-orang lebih suka ngabuburit pakai motor, bergerombol dengan puluhan motor lainnya, jalan-jalan entah kemana. Hampir setiap jalanan di mana pun penuh sesak dengan kendaraan–motor maupun mobil–desa ataupun kota.
Tak ada lagi bedug di sore hari, di waktu malam sehabis tarawih, dan bahkan di waktu pagi. Semuanya perlahan hilang, lenyap terkikis zaman. Kendati berada di bulan suci Ramadhan, yang notabene selalu semarak dengan tabuhan bedug di tahun-tahun sebelumnya–jauh sebelum era kemajuan zaman seperti sekarang ini.
Kini, deretan kendaraan, jubelan gadget, perlahan menggantikan keberadaan bedug yang selama ini menjadi simbol datangnya bulan suci Ramadhan. Maka, pantas saja jika kini amat jarang ditemukan orang-orang yang ngadulag selama puasa, ihwal keberadaannya yang perlahan hilang di makan waktu, yang mengalami arus modernisasi yang tidak bisa kita hindari begitu saja.
Sejatinya, perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Maka, benar kata Hirschman (1984) bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Mungkin, kebosanan inilah yang menjadi sumber perubahan yang terjadi belakangan ini, termasuk kaitannya dengan tradisi bedug sehingga tak ada lagi yang memainkannya sekalipun bulan Ramadhan, yang memang selalu semarak dengan tabuhan bedug dan puluhan orang yang ngadulag memainkannya.
Sesungguhnya, tak ada yang salah dengan waktu berikut perubaha-perubahannya. Tetapi, apa salahnya jika kita tak serta merta menghilangkan tradisi yang begitu lekat di kehidupan kita selama ini dengan begitu saja atas perubahan zaman itu sendiri. Yang jelas, tradisi tetaplah tradisi yang harus dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan kita.

*Ciamis, 22 Juni 2015
SHARE

Nunu Nugraha

HSedang getol belajar nulis di koran. Puisi, cerpen, opini, dan resensinya telah nangkring di berbagai media, mulai dari lokal hingga nasional. Sesekali, nongol di media online. Kini, dia tengah berburu beasiswa dan tak ketinggalan, sedang berusaha mendapat restu calon mertua. Kalau mau nyapa @noe_aufa Twitternya. Nunu Nugraha Facebooknya.

  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment