sumber : o-scartra.blogspot.com |
Kasto mengangguk, “ya,” sahutnya sambil memotong gula aren itu
menjadi bagian kecil, sebelum akhirnya dia kunyah, begitu lahap.
“Terkadang, kita dilupakan dengan proses pembuatannya. Tahu-tahu
rasanya manis. Itu saja. Tidak lebih.” kali ini ibunya menatap
Kasto begitu dalam.
Kasto mengernyit, “maksud ibu?”
“Kamu akan menemukan jawabannya suatu hari nanti. Sekarang, ayo
mandi dulu. Nanti keburu sore!” balas ibunya seraya membersihkan
wajan berukuran besar itu dari sisa-sisa gula yang menempel, yang dia
kerik menggunakan sosorok yang terbuat dari kayu itu.
***
MATAHARI begitu enggan menampakkan wujudnya, malu-malu menampakkan
sinarnya. Sedari tadi cuaca dirundung mendung. Padahal, hari
menjelang siang. Memang, saat ini, terkadang cuaca susah untuk
ditebak. Sekalipun BMKG memprediksi di daerah ini mendung, berpotensi
hujan, atau terang benderang, maupun cerah berawan, kadang tak sesuai
kenyataan aslinya, bahkan melenceng. Perubahannya pun begitu cepat.
Panas ke mendung, lalu hujan, setelah itu panas lagi, mendung lagi,
kadang mendung terus seharian disertai gerimis yang berkepanjangan.
Ya, seperti hari ini, misal. Nyaris seharian ini gerimis tak kunjung
reda meningkahi kampung itu, sebuah kampung di ujung utara Ciamis
yang jika ditempuh dengan kendaraan dari pusat kota, kurang lebih
memakan waktu sekitar tiga jam perjalanan, itu pun kalau lancar.
Orang-orang menyebutnya Kampung Kuta, tapi bukan di Bali. Mungkin,
namanya saja yang kebetulan sama. Kadang, ada pula yang menyebutnya
kampung gula. Oleh sebab, di kampung ini banyak sekali warganya yang
jadi perajin gula, gula aren tepatnya yang oleh mereka lazim disebut
gula kawung. Ada yang jadi tukang nyadap1,
ada pula yang jadi pengepul, penampung gula, bahkan juragan gula.
Yang lebih enak, tentu saja yang jadi juragan gula.
Adalah Kasto, lelaki yang bertubuh pendek dengan kulit
kehitam-hitaman yang sedari tadi berdiam diri pada sebuah golodog2
rumahnya, memandangi butiran-butiran bening yang berjatuhan
menciumi rerumputan yang hijau itu, wajahnya tampak begitu lesu
dengan keadaan ini. Sesekali, bibir legamnya menghirup sebatang
keretek yang nyaris tandas itu.
“Huh...,” dia mendesis, sambil meniupkan asap keretek dari
bibirnya yang legam itu, asapnya mengepul ke permukaan.
Perlahan dia bangkit, menyeret kakinya menuju ruangan belakang
rumahnya yang beralaskan kayu, yang apabila berlari di atasnya
terdengar bunyi; bug...bug...bug itu, sebuah balagbag3.
Di ruangan belakang yang menyerupai dapur itu, atau lebih tepatnya
sebuah dapur, langit-langitnya nampak berwarna hitam terkena kepulan
asap kayu bakar yang beterbangan berbentuk silalatu4
dari lubang hawu5
bagian belakang. Selain itu, terlihat pula dua buah wajan
berukuran besar yang digantung pada sebuah paku yang menempel di
dinding dengan permukaan punggung yang gelap, begitu hitam. Dua puluh
cetakan gula yang terbuat dari pohon waru dengan berbagai ukuran;
kecil, sedang, besar, bahkan ekstra besar. Jumbo. Seukuran bulatan
piring.
Pada kolong balagbag, terlihat beberapa potong kayu bakar,
cangkang kelapa, batok kelapa, tak ketinggalan seikat baralak6
kering yang kerap dia gunakan sebagai alat bakar pemancing api, bila
kayu bakarnya tak kunjung nyala. Sedikit basah.
Kasto mengambil beberapa potong kayu bakar itu, untuk kemudian dia
letakkan di mulut hawu yang menganga itu, menyerupai gua.
Selanjutnya dia bakar menggunakan korek api yang nyaris habis itu.
Ckerr...!
Perlahan, apinya menyala juga. Bahkan, makin lama kian
membesar membakar potongan-potongan kayu bakar itu, asapnya mengepul
memenuhi ruangan dengan begitu pekat. Sangat pekat. Baranya begitu
nyala, merah warnanya. Tak terbayang panasnya kayak gimana. Dari
kejauhan saja panasnya sudah terasa. Apalagi berdekatan seperti itu,
seperti yang biasa dilakukan Kasto sehari-harinya selama berjam-jam,
sambil mengaduk air legen6
hingga berwarna kemerah-merahan pertanda matang menjadi peueut7,
sebelum akhirnya dia angkat dan dicetak dalam cetakan yang telah
disiapkan sebelumnya.
Sesekali, matanya mengerjap-ngerjap, menahan pedih. Bahkan kadang
juga membuatnya batuk.
“Kang, kenapa apinya dinyalakan. Padahal kan legen-nya juga
belum diambil, kang?” seutas suara terdengar begitu saja dari arah
belakang rumahnya, yang sudah sangat dia hafal suara itu milik siapa,
seorang istrinya yang tengah mencuci perabotan rumahnya.
“Duh, iya, nyi. Hilap,” tukas Kasto pendek dengan wajah
yang bimbang. Pandangannya mengarah keluar, mengintip situasi hujan
yang tak kunjung reda dari celah bilah-bilah kayu yang terpasang pada
sebuah jendela yang berfungsi sebagai kaca itu, yang sangat berbeda
dengan rumah lain pada umumnya, di luar kampung Kuta.
Jika hujan tak kunjung reda, terang saja Kasto kian gelisah. Galau
tiada dua. Sebagai tukang nyadap, situasi hujan begini sangat
rentan risiko. Selain jalanan licin dan berliku, tentu saja
membuatnya kesusahan untuk memanjati setiap pohon aren yang hendak
dia sadap itu. Terlebih, dia memanjat hanya dengan bantuan
sigay8
yang diikatkan di tubuh pohon aren tanpa bantuan alat lainnya.
Begitu terpeleset barang sedikit saja, celakalah dia. Jatuh tak
terhindarkan lagi.
Otomatis, situasi-situasi seperti ini mesti dia hindari. Tapi, apa
boleh buat, pekerjaannya hanya itu-itu saja, tukang nyadap. Yang mau
tak mau mesti dia lakoni sehari-harinya, sekalipun situasi hujan
begini.
“Hujan keneh, kang...,”9
tiba-tiba istrinya membuka lagi percakapannya, di tengah keheningan
itu.
“Ah, nggak apa-apa, nyi. Hujan mah cai ieuh,” balas Kasto
seraya mengambil dua buah lodong berukuran besar itu, yang tingginya
nyaris semeter itu, yang dia gendong di punggungnya.
Belum sampai di mulut pintu, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari
arah depan rumahnya. Apa boleh buat, dia pun menghentikan langkahnya,
seketika.
Siapa tahu saja ada tamu, tetangga, atau siapa saja yang hendak
membeli gula aren buatannya, bahkan mungkin pula pengepul yang
biasanya datang ke rumahnya untuk mengambil beberapa bonjor10
gula aren yang telah dia kumpulkan dalam seminggu belakangan ini,
pikirnya.
Biasanya, pengepul itu datang seminggu sekali ke rumah Kasto. Dalam
seminggu itu pula Kasto mendapatkan uang dari hasil jerih payahnya
membuat gula. Kalau lagi mujur, dalam seminggu, biasanya Kasto mampu
menghasilkan beberapa bonjor gula.
Bahkan, sempat dalam seminggu, dia mampu menghasilkan 20 bonjor
gula. Harga perbonjornya dia jual dua belas ribu. Artinya dalam
seminggu itu dia berpenghasilan dua ratus empat puluh ribu. Sebuah
penghasilan yang cukup besar untuk ukuran kampung. Semakin banyak
bonjorannya, semakin banyak pula penghasilannya.
“Alhamdulillah...,” syukurnya kala itu.
Selain menjual dalam bentuk bonjor, dia juga menjualnya dalam bentuk
eceran yang oleh masyarakat kampung Kuta disebut gandu11.
Biasanya, harga untuk satu gandu, dia jual seribu lima ratus
rupiah.
Mereka yang beli dalam bentuk eceran, tetaplah dia layanai. Biar
begitu, mereka tetaplah pintu untuk mendapatkannya rezeki, pikirnya
kala itu. Syukur-syukur kalau setiap orang yang belinya dalam bentuk
eceran, sebab, keuntungannya lebih besar dibanding hitungan bonjor.
“To, Kasto...,” panggil sebuah suara yang terdengar dari arah
depan rumahnya, yang telah menghentikan langkahnya untuk pergi nyadap
ke kebun.
Begitu pintu dibuka, tampak seorang lelaki bertubuh jangkung
mondar-mandir tak keruan di depan pintu yang sedari tadi lelaki
jangkung itu ketuk yang tak kunjung keluar penghuninya.
“Duh...,” desisnya seraya menatap jam tangan berwarna putih di
lengan kirinya itu.
Akhirnya, yang dipanggil keluar juga, “Eh, kang Roni.
Mangga kalebet!”12
ajak Kasto kepada lelaki itu, lelaki yang dia panggil Roni. Mungkin
saja pengepul yang biasanya datang.
“Ah, moal, To. Rusuh puguh ge13.
Bagaimana gulanya dapat berapa bonjor?” tanya lelaki yang bernama
Roni itu.
Ternyata, benar saja, lelaki yang bernama Roni itu adalah seorang
pengepul gula aren yang biasanya datang ke rumah Kasto seminggu
sekali, hari Kamis tepatnya. Berkat Roni itulah gula-gula buatan
Kasto, dan perajin gula lainnya sampai di pasaran, di rumah-rumah
warga untuk kebutuhan memasak, atau sekadar pemanis teh maupun kopi.
Yang ditanya malah tak menjawab. Bungkam beberapa saat. Sebelum
akhirnya menyahut juga, “Duh, puguh ge cuacana keur teu puguh kieu,
kang. Hujan wae. Ieu ge rek mangkat ka kebon, kalah ka pegat
hujan.”14
keluh Kasto.
“Oh,” balas Roni singkat, “ya, sip atuh kalau nggak ada mah.
Nanti minggu depan saya ke sini lagi,” sambungnya lagi seraya
pamitan meninggalkan rumah Kasto.
“Ada. Ada, kang. Tapi cuma sedikit. Hanya empat bonjor, kang.”
“Oh, nggak apa-apa, To. Sok, ambil ke sini!” pinta Roni sambil
meletakan pantatnya pada sebuah golodog di lubang pintu rumah
itu.
“Mangga, kang. Mangga.” Dengan nada sumringah, Kasto pun
menyerahkan empat bonjor gula ke tangan Roni, seorang pengepul
gula yang selalu datang ke rumahnya dalam seminggu sekali ini.
Roni mengangguk. Dia tampak mengeluarkan tiga lembar uang dari saku
celananya yang tampak baru itu, dua pecahan dua puluh ribu, dan satu
pecahan sepuluh ribu, totalnya lima puluh ribu rupiah, “Kembaliannya
ambil saja, To. Lumayan.”
“Alhamdulillah, kang. Hatur nuhun,” balas Kasto dengan nada
senang.
Roni pun akhirnya pergi meninggalkan rumah itu, sambil berjabat
tangan dengan Kasto sebagai tanda ijab dan qabul dalam
jual beli yang dia balas dengan jabatan tangan begitu hangat. Begitu
dalam. Di tengah situasi hujan yang tak kunjung reda itu, yang
menyebabkannya tidak pergi nyadap, sementara ini.
Alhamdulillah, ieu pasti kersaning Gusti Allah15,
gumamnya dalam hati.
Alih-alih mau pergi nyadap. Eh, hujan justeru tak kunjung reda.
Memaksanya untuk berdiam diri, tak kemana-mana. Tidak nyadap. Tidak
pula ke kebun. Sedang jarum jam tak henti berputar. Apa boleh buat,
dia pun memaksakan diri untuk pergi nyadap. Kendati, telah mendapat
beberapa lembar rupiah yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya hari
ini. Tapi, tetap saja dia mesti mengambil lodong yang telah
disimpannya sejak kemarin sore. Barang kali saja sudah terisi penuh,
pikirnya.
Di tengah situasi hujan begini, basah kuyup mungkin risiko yang dia
dapat. Tapi itu masih mending. Bagaimana kalau dia kenapa-kenapa,
jatuh dari pohon, atau terpeleset ke jurang saking licinnya jalanan
setapak itu, misal. Terlebih, dia tak memakai alas kaki. Kakinya
hanya dibiarkan telanjang begitu saja.
Begitulah. Risiko yang mesti dia tempuh sebagai tukang nyadap,
kendati penghasilannya tak seberapa itu. Hmm, baginya, pekerjaan ini
adalah pekerjaan yang mulia. Terlebih, di kampung Kuta ada semacam
larangan yang jika dilanggar barang sedikit saja, bisa celaka.
Kawalat.
Anehnya, salah satu larangan bagi setiap warga yang tinggal di
kampung ini adalah dilarang bekerja menjadi pegawai, baik itu pegawai
negeri maupun swasta, di luar Kampung Kuta. Makanya, mayoritas
pekerjaan orang-orang Kuta adalah perajin gula, tukang nyadap seperti
Kasto, sebagian lain ada yang jadi petani, dan ada pula yang
berternak binatang: ayam, kambing, sapi, maupun kerbau. Eh, tapi, ada
pula yang jadi juragan. Juragan gula tepatnya, kayak Roni.
***
Di sebuah hutan yang tampak belantara itu, yang begitu sesak
dipenuhi berbagai tumbuhan dan pohon-pohon kayu, yang sebagian di
antaranya adalah pohon aren yang siap panen itu, seorang lelaki
bernama Kasto berdiri di atasnya, tampak terkejut melihat sebuah air
yang mengalir dari bukit Ci asihan16
itu, airnya begitu keruh. Tak seperti biasanya.
Dari kejauhan, tampak seorang lelaki berjenggot putih dengan pakaian
serba hitam yang kepalanya diikat dengan bendo itu, tengah berjalan
ke arahnya. Bahkan, kini, kian mendekat.
“Jangan nyadap hari ini, To!” ucap lelaki tua itu tiba-tiba
dengan nada yang agak tegas.
Kasto diam beberapa saat sebelum akhirnya menyahut juga, “kenapa
memangnya, Ki?”
“Pamali,” timpal lelaki tua itu begitu singkat.
Pamali?
Mendengar kata-kata itu, Kasto tampak kebingungan. Biar begitu,
ucapan lelaki tua itu adalah ucapan yang patut untuk diperhitungkan,
dipikirkan dalam-dalam oleh setiap orang di kampung itu, termasuk
oleh Kasto sendiri. Sebab, lelaki tua itu adalah sosok yang begitu
dijunjung di kampungnya sebagai seorang kuncen, ketua adat di Kampung
Kuta, sejak puluhan tahun silam.
“Oh, nya, To. Kade peupeujeuh tong dituluykeun nyadapna!”17
lelaki tua itu kembali angkat suara, sebelum akhirnya beranjak
meninggalkannya.
“Si...siap, Ki,” tukas Kasto seraya turun dari sigay
pohon aren itu.
Begitu sampai di bawah, Kasto tampak begitu kuyu. Tubuhnya gigil
ditingkahi gerimis yang tak kunjung reda itu, dengan napas
sedikit terengah. Begitu lelah.
Sejenak, dia teringat dengan percakapannya bersama ibunya di sebuah
sore, beberapa tahun silam, “Terkadang, kita dilupakan dengan
proses pembuatannya. Tahu-tahu rasanya manis. Itu saja. Tidak lebih.”
begitu kira-kira ucapan ibunya yang dia dapat, kala itu.
Kasto terdiam sesaat, merenung dalam-dalam di bawah pohon aren yang
begitu setia dipanjatinya yang menjadi gantungan hidupnya sepeninggal
ibu tercintanya itu, beberapa tahun silam, bahkan hingga kini.
Perlahan, pelupuk matanya berlinang digenangi butiran-butiran
kristal yang nyaris dobrak meleleri seluruh wajahnya, “Bu, mungkin
inilah jawaban yang Kasto dapatkan dari ucapan ibu, beberapa tahun
lalu itu,” gumamnya dalam hati disertai isak yang tak kuasa
dibendungnya lagi.
***
Di rumahnya, istrinya tampak cemas menunggunya sejak sedari tadi
dengan begitu setia, sesetia gerimis yang tak kunjung reda, “Gusti,
kuharap akang baik-baik saja,” lirihnya memandangai gerimis itu
dengan begitu dalam. Sedalam kegelisahannya.
***
1Perajin
gula yang mengikuti segala proses pembuatannya hingga sampai jadi
gula
2Teras
rumah yang terbuat dari kayu yang digunakan sebagai tempat untuk
bersantai, posisinya berada persis di depan pelataran rumah
3Teras
rumah
4Sisa-sisa
pembakaran yang beterbangan bersama asap
5Tungku
6Daun
kelapa yang kering yang kerap digunakan untuk pembakaran
6Air
nira
7Air
nira yang telah mengental yang siap dicetak menjadi gula aren
8Sebatang
pohon bambu yang digunakan sebagai tangga untuk menaiki pohon aren
yang diikatkan di badan pohon
9Masih
hujan, kang
10 Hitungan
persepuluh gula aren, satu bonjor berisi sepuluh gula
11 Hitungan
persatuan gula aren
12 Silakkan
masuk
13 Ah,
nggak usah. Buru-buru.
14 Duh,
cucacanya lagi nggak bersahabat, kang. Hujan terus. Tadinya mau
berangkat, namun nggak jadi karena hujan.
15 Kehendak
Allah. swt
16 Sumber
mata air masyarakat Kuta yang kerap digunakan untuk keperluan
sehar-hari, baik minum, mandi, dll.
17 Awas.
Hati-hati. Jangan sampai nyadapnya dilanjutin!
0 comments:
Post a Comment